Erang
bocah lelaki berumur 7 tahun tak kuasa menahan tangis. Ia sangat sedih. Ibu
bapaknya, telah pergi meninggalkan dirinya. Diusapnya sisa air mata yang
membasahi wajahnya. Erang mengucapkan sumpah. Kelak, jika Tuhan berkenan
menganugerahinya umur panjang, ia akan menggunakan umur tersebut hanya untuk
membalas dendam pada raksasa jahat yang telah merenggut nyawa kedua orang
tuanya.
Sepuluh tahun kemudian, Erang kanak-kanak kini telah
tumbuh dewasa. Ia sering diejek teman-temannya karena tubuhnya yang kuntet.
Erang selalu membalas setiap ejekan ‘kuntet’ dari kawan-kawannya dengan
senyuman. Ia menekan setiap rasa kesal yang muncul di hatinya. Demi membalaskan
dendam kedua orang tuanya, ia tabah berjalan teguh di atas rencana yang
disusunnya. Tak ada yang tahu kalau tubuh kuntetnya itu sebenarnya disengaja
oleh Erang. Bertahun-tahun ia disiplin berpuasa. Berpantang makan dan menahan
lapar, agar tubuhnya tidak tumbuh berkembang.
Diam-diam pula, Erang menyusup ke setiap desa di mana
raksasa musuhnya sedang berburu manusia. Dibantu oleh tubuh kuntetnya ia
bersembunyi sambil memerhatikan secara saksama gerak-gerik si raksasa. Sambil
menunggu waktu yang tepat di kemudian hari, Erang memelajari kelemahan
musuhnya. Nenek moyangnya pernah mengajari Erang, ‘Kenali kelemahan musuhmu
untuk mengenali kekuatanmu’.
Tibalah kemudian malam yang ditunggu-tunggu Erang.
Purnama hari keempat belas. Sepuluh tahun sejak kedatangan terakhir raksasa ke
desa. Cahaya bulan menyiram tanah. Erang telah mempersiapkan dirinya sejak
petang. Belajar dari kebiasaan raksasa sebelum-sebelumnya, maka malam ini
adalah giliran desanya disatroni oleh raksasa jahat itu. Pemuda-pemuda desa
yang telah dilatih silat sibuk menyiapkan diri. Mereka menggenggam berbagai
jenis senjata di tangan masing-masing. Lalu mereka mulai melawan raksasa.
Raksasa mengaumkan teriakan memekakkan. Tampaknya ia
marah mendapati dirinya mendapat perlawanan dari penduduk desa. Hanya dengan
sekali kibas, kedua tangan raksasa itu telah merontokkan para pemuda desa.
Erang menyaksikan kenyataan itu dengan hari miris. Ia sudah menduga akan
terjadi hal seperti itu. Segesit dan sekuat apa pun para pemuda desa itu, sama
sekali bukan tandingan raksasa.
Raksasa itu mengaum sekali lagi. Wajahnya tampak puas.
Dengan langkah malas karena kekenyangan, raksasa memutar badannya hendak
berlalu dari desa itu. Pada saat itu, Erang segera melompat menghadang raksasa.
Raksasa menghentikan langkahnya. Raksasa menertawakan Erang yang bertubuh
kuntet, namun berani menghadangnya. Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam diri
erang. Erang malah menghinga raksasa. Raksasa menggeram. Kemarahannya tak
terbendung lagi. Belum pernah seumur hidupnya ia dihina oleh seorang manusia.
Terlebih manusia kuntet nan kerempeng seperti Erang. Manusia kuntet itu bahkan
berani menghina dengan mengatakan mulutnya tak sanggup menelan tubuh Erang.
Secepat kilat tangan raksasa itu menyambar Erang.
Anehnya, Erang justru tidak berusaha untuk menghindar. Dibiarkannya tangan
raksasa itu mencengkeramnya. Selanjtunya, tubuh Erang menggelinding masuk ke
mulut raksasa. Karena tubuhnya yang kuntet dan jarak geraham kiri dan kanan
raksasa sangat lebar, Erang berhasil menghindar dair gigi-gigi raksasa yang
berusaha mengunyahnya. Dengan cepat Erang menggelindingkan tubuhnya melalui
tenggorokan masuk ke dalam perut raksasa.
Merasa mangsanya telah tewas, raksasa itu kembali melanjutkan
langkahnya. Namun, sepuluh langkah dari situ, tiba-tiba tubuh raksasa itu roboh
bergelimpang menimpa bumi. Tanah bergoyang keras. Meninggalkan lubang di bawah
punggung raksasa. Tubuh raksasa itu kemudan berguling-guling. Berteriak-teriak
menahan rasa sakit. Sebuah sobekan dari dalam perutnya mengakibatkan tubuhnya
berhenti berguling. Raksasa jahat itu telah mati.
Terlihat Erang menjulurkan kepalanya
dari dalam perut raksasa yang terbelah. Ia kemudian keluar dan melompat turun
ke tanah dengan tenang. Karena kuasa dewata, di tempat raksasa itu terbaring,
tiba-tiba berubah wujur menjadi gunung. Bentuknya seperti tubuh raksasa,
lengkap dengan perut besarnya yang menonjol. Penduduk sekitar gunungpun
kemudian menamainya dengan sebutan Gunung Lompobattang, yang artinya perut
besar. Lompo= Besar, Battang= Perut.