Rabu, 17 Desember 2014

Sweet rain



Sweet Rain
By: Queen Elsa



Chandra menambah kecepatan mobilnya di jalan raya yang cukup licin akibat diguyur hujan deras semalam. Kubangan mulai menghiasi pinggir jalan raya yang biasa ia lalui menuju kantornya. Ia tidak menyukai hujan. Saat sebagian orang mensyukuri datangnya  hujan sebagai berkat, tidak bagi Chandra. Baginya hujan hanyalah penghambat aktivitas padatnya. Untungnya hujan sudah berhenti sejak pukul empat dini hari tadi.
Toyota camry hitam mengilapnya memasuki ruang parkir bawah tanah kantornya. Sesaat dilihatnya mobil pemberian kliennya yang merupakan pengusaha karena memenangkan kasus perkara tanah. Menggantikan viosnya yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Mobil hitam mengilap itu kini telah ditempeli noda-noda kecoklatan.
Ia menuju lift bawah tanah dan menekan tombol. Saat pintu lift hendak tertutup, sebuah kaki yang lumayan jenjang dengan sepatu setinggi sebelas sentimeter berwarna merah menahan pintu lift. “Hei, pagi, Chand” sapanya ceria. Namun Chandra hanya membalas dengan senyuman kecil yang terlihat memaksa.
“Hujan tadi malam rupanya membuat moodmu tidak baik di pagi ini ya?” lanjut gadis berambut pirang seleher itu tanpa memandang Chandra. Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, gadis mungil itu keluar perlahan. “Have a nice day, Chand” katanya sambil meninggalkan lift. “Bye” sahut Chandra singkat.
Chandra pun tiba di lantainya. Pintu lift terbuka, ia segera keluar. Sudah sejak lima tahun lalu ia bekerja di kantor itu. Sudah banyak cerita menyebalkan tentang hujan. Di hari pertama ia bekeja, ia datang dengan tubuh setengah basah dan terlambat tiga puluh menit. Rambutnya yang rapi sudah tak terlihat karena bentuknya yang tidak karuan dan basah. Sepatunya yang tidak semengilap saat baru ia semir semalam sebelum ia berangkat kerja. Belum lagi tas yang basah hingga merembes membasahi dokumen-dokumen yang ada di dalamnya.
Ia membenci hari itu, karena bukannya memberi kesan pertama yang baik, tapi malah berantakan. Ia juga sangat membenci hujan sejak saat itu. Ia mendorong pintu kaca berbingkai kayu berwarna coklat gelap. Ia menarik napas panjang saat berada di ruangannya. Ia selalu nyaman berada di sana. Ia merapikan dasi berwarna abu-abu yang menggantung di lehernya.
Seseorang membuka pintu dengan antusias membuat Chandra sedikit tersentak. “Vick! Buka pintunya pelan-pelan tidak bisa?!” ia kembali berkutat dibalik laptopnya. Pria bernama Vicky itu hanya menyunggingkan senyumnya.
“Hari ini jam dua belas siang kamu ada janji dengan Ara Queen”
“Ara Queen?” tanyanya setengag tak percaya. Hatinya kembali bergetar, seperti yang ia rasakan beberapa tahun lalu .
“Iya. sebenarnya aku sudah memberitahumu lewat email, belum kamu terima?”
“Maksudmu Ara Queen penulis The Litle Angel itu?”
“Iya. Dia dituntut oleh penulis lain-Tri Seria-karena merebut hak cipta novel The Litle Angel itu. Aku hanya mengingatkanmu. Siapkan dokumen-dokumenmu ya” Vicky bersiap meninggalkan ruangan itu, namun ia kembali. “Kalau bisa, dapatkan tanda tangannya untukku ya” katanya setengah berbisik namun sepertinya Chandra tidak mendengarnya.
Ara Queen. Ia mengulang nama itu dalam hatinya. Nama yang pernah ia dengar. Nama yang tidak asing baginya. Mungkinkah dia?
***
“Chand, sudah sejam kamu membaca buku itu, kita kesini hanya untuk ini?” Gadis cantik bermata bulat, berambut panjang kepirangan memasukan potongan donat bertabur seres coklat ke dalam mulut mungilnya.
“Aku ada presentasi besok, aku harus konsentrasi. Kamu habiskan saja donatmu ya” Chandra menghapuskan sisa coklat di ujung bibir gadis itu, kemudian kembali menyibukkan diri di balik laptopnya.
“Oh jadi kamu sibuk mengerjakan tugas, dan aku makan begitu? Hey Chandra Antonio calon pengacara hebat, aku sampai mengabaikan novelku demi kamu tahu!”
“Arnelia Queenara calon penulis berbakat, sabar ya. Sebentar lagi tugasku selesai”
“Eits. Jangan panggil aku Arnelia Queenara, karena aku akan terkenal sebagai Ara Queen. Itu nama penaku”
Well, Ara Queen aku butuh bantuanmu. Menurutmu jika ada seorang gadis dengan wajah sembab habis menangis dan menjelaskan bahwa ia telah dianiaya dan diperkosa kamu akan percaya?”
“Kalau dia terlihat meyakinkan, aku percaya”
“Kenapa kamu bisa mudah sekali percaya? Jangan karena kalian sama-sama perempuan lalu kamu mulai empati”
“Kan tadi kamu tanya, sudah kujawab. Itu kan menurutku!”
“Kamu harus belajar melihat sesuatu secara objektif, kalau mengikuti perasaanmu itu kan subjektif, bisa dimanipulasi. Bisa saja dia berakting, untuk itu kita perlu bukti”
“Susah berdebat dengan anak hukum!”
“Lho kenapa kamu jadi membahas jurusanku? Lagipula apa pentingnya belajar bahasa? Apa hebatnya belajar  sastra?” sahutnya tak ingin kalah.
Arnelia mengambil tasnya dan meninggalkan Chandra di dalam kantin sendirian. Ia meremas tangannya sendiri dengan gemas. “Apa hebatnya belajar bahasa dan sastra? Dia akan lihat novelku akan berjejer di deretan rak di toko buku besar. Dia tidak sadar aku telah membantunya mengerjakan tugasnya dengan bahasa yang baik dan rapi” Arnelia mengomel.
Chandra berhenti mengetik. Tiba-tiba otaknya buntu. Jari-jarinya yang tadi lincah menari dia atas keyboard laptopnya, kini terhenti.  Kata-kata yang hendak dijadikannya menjadi kalimat yang utuh kini buyar. Biasanya ia akan meminta bantuan Arnelia jika sudah buntu seperti ini. Ia membutuhkan Arnelia dan menyesali perkataannya tadi. Bahasa ternyata sangat penting.
Ia menutup laptopnya dan merapikan barang-barangnya. Ia mengejar Arnelia. Walau langkah Arnelia sudah cukup jauh, Chandra terus mengejarnya. Ia menahan Arnelia saat sudah berada di dekatnya.
“Tunggu Ar. Aku…aku minta maaf soal perkataanku tadi.”
“Kenapa bisa berubah pikiran?”
“Aku sadar kalau bahasa itu memang…penting”
“Sudah tahu? Baguslah” Arnelia hendak melanjutkan langkahnya, namun ia terhenti saat setetes air tiba-tiba turun membasahai lengan kanannya. Detik berikutnya ratusan, ribuan bahkan lebih tetesan air mulai menyerang mereka, memaksa mereka untuk mencari tempat yang aman jika tidak ingin basah.
Chandra segera menarik Arnelia memasuki gedung F yang merupakan gedung untuk fakultas dan jurusannya.
“A…aku harus panggil apa sekarang? Queen atau Ara?” tanya Chandra tiba-tiba mencoba mencairkan dinginnya suasana saat itu
“Ara Queen! Itu nama penaku dan aku akan terkenal dengan nama itu” katanya bangga. Namun Chandra hanya tertawa mendengarnya.
“Baiklah. Aku sangat setuju, itu nama yang unik”
“Hujannya menenangkan sekali ya. Tidak terlalu deras, tidak ada suara guruh atau petir. Such a sweet rain in a Monday morning” katanya sambil memejamkan mata menikmati angin bercampur cipratan air hujan mengenai tubuhnya.
“Ara Queen, bantu aku selesaikan tugasku ini ya” Chandra memelas. Arnelia melihat ke arahnya. Matanya menyipit mempertimbangkannya. “My pleasure” saat itu mereka sangat menyukai hujan. Jika hujan datang mereka berdiri di tepi gedung sambil menikmati angin bercampur cipratan air hujan yang menyerang mereka. Mereka menghirup napas dalam-dalam menyesakkan paru-paru mereka dengan bau tanah yang khas saat basah. Sweet moment, sweet rain. Kata Chandra dalam hati
***
Kenangan itu kembali bermain di benak Chandra hingga ia tidak menyadari seorang gadis cantik bermata indah di depannya sudah memanggil namanya untuk kesekian kalinya.
“Pengacara Chandra, apa kabar?” gadis itu tersenyum manis.
“Kabar baik penulis Ara Queen” keduanya sama-sama tersenyum. mereka mendiskusikan kasus itu setelah Ara Queen alias Arnelia Queenara menceritakan secara kronologis perihal dirinya yang dituntut oleh penulis lain karena dituduh melanggar hak cipta dengan menjiplak karya orang lain.
Saat tengah membicarakan kasus itu. hujan yang turun siang itu langsung menyita perhatian mereka. “Such a sweet rain in Monday” kata Ara Queen tanpa sadar. “Kamu masih menyukai hujan?” tanya Chandra hati-hati. Ara Queen mengangguk antusias. “Bagaimana denganmu?”
“Bagiku hujan itu menghambat aktivitasku” jelas sekali terlihat bahwa Chandra sudah tidak menyukai hujan.
“Ternyata kamu sudah banyak berubah setelah tujuh tahun”
Menit berikutnya pembicaraan mereka mulai pribadi. Keduanya masih belum berencana berpasangan. Mereka masih menikmati masa lajang mereka dengan karir mereka. Akhirnya, mereka berjabat tangan sebelum berpisah. Ada rasa hangat yang menjalar dari tangan Ara Queen ke dalam tubuhnya. Rasa hangat seperti tujuh tahun lalu. Masih sama, tidak ada yang berubah. Hati Chandra bergetar menyentuh tangan dingin Ara Queen. Meski dingin, namun terasa nyaman serasa tak ingin melepas lagi genggaman itu. Keduanya meninggalkan café dengan langkah berat.
***
Hakim mengetuk palu hingga tiga kali di meja hijau itu tanda berakhirnya sidang siang itu. Ara Queen memenangkan kasus itu. ia terbukti tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Seluruh yang hadir dalam ruangan sidang itu segera meninggalkan ruang sidang itu.
“Terimakasih, ya. Berkatmu aku memenangkan kasus itu. Karena kamu masih menyimpan naskah asliku yang masih berupa tulisan tangan, dan video saat aku menulisnya…aku tidak percaya kamu masih menyimpannya” Chandra hanya tersenyum. Tak ingin menjawab.
Setetes air terjatuh di pipi Ara Queen. Chandra menghapus buliran air itu dengan hati-hati agar make up Acha tak ikut terhapus. Keduanya mendongakkan wajahnya ke langit. “Will it rain?” tanya Chandra. Tiba-tiba tetesan air makin banyak dan cepat turun membasahi mereka. Ara Queen menahan Chandra yang hendak masuk kembali ke gedung pengadilan menghindari hujan yang sangat tidak ia sukai.
Let’s get wet together, Chand!” mereka tak lagi menghiraukan pandangan orang lain kepada mereka. Hujan membasahi tubuh mereka yang dibungkus setelah jas dan blazer berwarna abu-abu. Sweet moment in the sweet rain. Chandra kembali merasakan kehangatan di tengah dinginnya hujan seperti yang ia rasakan tujuh tahun lalu bersama orang yang sama Arnelia Queenara meskipun sekarang sudah menjelma menjadi Ara Queen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar