Cantik
“Sshh...Rini cantik
sekali, ya? Wajahnya sangat polos” katanya masih belum
berkedip. ‘What?! Rini? Jadi daritadi dia memperhatikan Rini?’ Daritadi aku bicara
panjang kali lebar kali tinggi kali dalam sama dengan luas, tapi ia tak
mendengarkan?! Aku mendengus kesal. “Ricky? Listen to me!” Teriakku akhirnya. Aku
menoleh ke arah lain-yang terus dilihat Ricky-yang tidak memperhatikanku. Kulihat
sekelompok gadis tengah duduk santai sambil tertawa kecil. Kelihatannya mereka
sedang membicarakan hal yang sangat seru menurut mereka.
Terlahir dengan nama
Arini Zelda, yang biasa dipanggil Rini, mempunyai tinggi 158 cm dan berat 48 Kg
berkulit putih dengan wajah yang selalu polos tanpa riasan. Aku sangat tidak
suka dengan orang berwajah polos. Istilah ‘Diam-diam mematikan’ adalah yang tepat untuk
orang-orang yang berwajah polos atau lugu. Tidak ada yang tahu kan seperti apa
sifat asli mereka. Bisa saja mereka justru lebih jahat dari pada orang yang
berwajah jahat. Aku sangat membenci orang berwajah polos!
Aku dan Rini sekolah di
SMK yang sama. Meskipun berbeda jurusan, tapi aku sudah cukup kesal karena
terus menerus bertemu dengannya tiap hari selama tiga tahun. Sekarang lagi-lagi
aku harus menahan rasa kesalku karena harus melihat wajahnya tiap hari dan kali
ini akan terjadi selama empat tahun! Unbelievable!
“Polos? Kamu tidak tahu
kan seperti apa dia aslinya?” cibirku. Ricky masih
asik memandangi Rini. “Kamu suka Rini, ya?” tanyaku ragu. Ricky
mengangguk antusias. Aku membuang nafas dengan kesal. Kutinggalkan Ricky begitu
saja di luar. Aku segera masuk kelas. Lima menit lagi mata kuliah pertama
dimulai.
Sampai di kelas pun
Ricky masih sibuk dengan Rini. Aku tak yakin ia menerima mata kuliah. Aku
berusaha tak mempedulikan temanku yang satu ini. Oh, mungkin harus ku akui
meskipun kami berteman, tapi aku menyukainya.
Ya, bagaimana tidak?
Pertama, dia punya wajah manis yang sangat mirip dengan Carter Jenkins pemain “Aliens in the Attic” atau setidaknya
menurutku dia adalah versi Indonesia. Alasan kedua, itu semua terjadi beberapa
bulan lalu saat sekolah kami mengadakan study tour ke puncak.
Salah seorang temanku
bercerita tentang kejadian aneh dan di luar nalar manusia yang pernah terjadi
di vila itu. Aku yang sangat takut hantu dan hal lain yang berbau mistis meminta
Ricky untuk menemaniku sepanjang malam. Akhirnya Ricky tidur di depan kamarku,
dengan alasan kalau tiba-tiba aku terbangun dan ingin ke toilet dia bisa
mengantarku. Ricky sangat baik.
***
“Ra, nanti aku pinjam
flashdiskmu, ya.” katanya saat kami
sedang menunggu pesanan makan siang. Setelah mata kuliah pertama usai. Aku
pura-pura tak mendengarnya. Aku sibuk berkutat dengan tabletku dan earphone
yang menggantung di telingaku. “Ra? Clara?” Ricky mencabut salah
satu earphone-ku.
“What?” aku mulai kesal. “Pinjam flashdisk” ulangnya sambil
tersenyum dan mengangkat alis. “What for?” tanyaku jutek. “Copas semua materi tadi.
Kamu sudah menyimpan semuanya dalam falshdisk-mu kan” jawabnya polos.
“Tadi kamu sama sekali
ngga dengar atau tulis atau ketik atau apa kek?”
“No” jawabnya tanpa ragu.
“Yang ada di pikiranmu
hanya Rini, sih”
“Yes”
“Kalau begitu ‘No’”
“Maksudnya?”
“Kamu ngga boleh pinjam”
“Clara please” wajahnya mulai memelas.
Oh
my God! Aku paling tidak bisa melihat wajahnya memelas sambil memohon seperti
itu. Sial! Aku tidak tega melihatnya. “Ok, aku pinjamkan. Tapi
lain kali kalau mau pinjam, pakai alasan lain. Jangan bawa-bawa Rini!” kataku akhirnya sambil
menyerahkan flashdisk-ku. “Ya untuk apa juga aku
bawa-bawa Rini? Berat kan?” sempat-sempatnya dia
melucu. “Hahaha...crispy” sahutku ketus.
***
Siang
ini aku dan Ricky sedang mengerjakan tugas untuk mata kuliah Komunikasi
Efektif. Meskipun tugas individu kami selalu mengerjakannya bersama. Tentu saja
hasilnya harus berbeda. “Ky, tolong ambilkan buku
itu dong?” kataku tanpa melihatnya. Mataku masih serius
menatap layar laptop di hadapanku. Namun tak ada respon darinya. “Ky? Ricky?” aku menoleh ke arahnya.
“Hey?” aku menyenggol
lengannya yang ternyata ia sedang melihatku juga. “Ada yang aneh dari
wajahku, ya?” sambil menepuk-nepuk pipiku sendiri.
“Clara, sebenarnya kalau
dilihat-lihat, kamu juga cantik lho kalau polos” katanya akhirnya
bicara. Aku melepas kacamata anti radiasi-ku.
“Stop talking about ‘polos’. I hate that”
“Aku serius, kamu lebih
cantik polos, sama seperti Rini”
“Itu karena kamu jarang
melihatku pucat seperti ini tanpa make up, aku yakin kalau Rini sedikit saja
memakai riasan kamu pasti makin suka sama dia karena dia biasa polos, sekalinya
dia make up sedikit pasti akan terlihat lebih cantik. Lagipula aku bukan anak
SMA lagi ya, aku sudah dewasa sekarang, jadi make up sangat penting untuk
karirku nanti”
“Wait a moment” Ricky membuka
ponselnya. Ia mengutak-atik ponselnya. Beberapa menit kemudian ia menunjukkan
ponselnya. Di dalamnya ada fotoku yang sedang memakai dress biru tua saat
perpisahan beberapa bulan lalu.
“Look at yourself.
Powdered face, with blushed cheek, oiled lips, smooky eyes, and bla bla bla” ia mendekatkan
ponselnya ke telingaku. Membandingkan wajahku saat make up dan saat polos. Foto
itu sebenarnya ada Ricky di sebelahku. Kami berfoto saat menerima medali
kelulusan. Tapi ia men-zoom fotonya di bagianku. Ternyata dia masih menyimpan
foto itu.
“Kalau kamu bicara
seperti itu, berarti kamu bilang aku cantik, ya? Berarti kamu juga suka sama
aku? Ya ‘kan?” tebakku dengan sedikit
nada canda di dalamnya. Ya aku harus melakukan itu untuk menjaga image-ku.
“Aku tidak bilang begitu”
“Tapi waktu study tour
kemarin, kamu tidur di depan kamarku untuk menemaniku kan?” tanyaku lagi masih dengan
nada meledek.
“Hmm...actually itu
karena di sebelah kamarmu adalah kamar Rini. Ricky dan Rini, dari nama saja
kami sudah serasi”
“Oh my to the God!
Terrible!” aku mendengus kesal. Aku benar-benar kesal
padanya. Tapi setidaknya aku tahu alasan Ricky sebenarnya.
***
Keesokkan harinya saat
aku baru saja duduk di kelas, Ricky sudah menyerahkan selembar kertas berupa
brosur lomba. “Princess of the Year?” aku mengerutkan
keningku saat membaca tulisan yang dicetak besar dan tebal yang mendominasi
kertas itu.
“Iya. Kontes kecantikan
yang pertama kali diadakan di kampus ini”
“I’ll join this contest” kataku percaya diri
“Rini juga harus ikut
kontes ini” Ricky makin tersenyum lebar.
Kontes
ini pasti mengharuskan setiap orang yang ikut memakai riasan. Rini tidak bisa
make up itu berarti dia tidak akan menang. Aku tersenyum licik. Aku membaca
persyaratan dan ketentuan lombanya.
Terlahir
dengan nama Clara Evangelista, yang biasa disapa Clara. Mempunyai tinggi 163
cm, berat 49 kg berkulit langsat dengan eyesmiled tak mungkin tak mengikuti
kontes ini. Aku menyibakkan poni tipisku.
Beberapa
menit kemudian Rini dan beberapa temannya memasuki kelas. Ricky langsung
menghampirinya. “Rini, kamu harus ikut
kontes ini” katanya menyodorkan brosur lomba. Rini tersenyum
kecil sambil menerimanya.
Kontes itu terdiri dari
tiga segmen. Segmen pertama adalah memasak, segmen kedua adalah bernyanyi, dan
segmen terakhir adalah merias diri sendiri. Dan setelah itu semua, pemenangnya
haraus menunjukkan di depan banyak orang lifeskill yang ia miliki.
***
Hari
ini, adalah hari yang sangat dinantikan seluruh mahasiswa khususnya mahasiswi
yang mengikuti Princess of the Year. Acara dimulai pukul sembilan pagi. Setelah
acara pembuka segmen pertama pun langsung dimulai.
Peserta
diharuskan memasak makanan yang bahan makanannya sudah disediakan oleh panitia.
Aku sama sekali tidak mengenal juri kontes ini. Yang pasti mereka ada tiga
orang, satu diantara mereka berwajah paling sangar mempunyai kumis hitam yang
tebal dan tubuh gempal. Orang kedua adalah seorang wanita muda bertubuh tinggi
berparas cantik berambut pirang yang sepertinya berdarah campuran. Yang
terakhir seorang wanita paruh baya dengan balutan kebaya berwarna keemasan yang
terlihat seperti kartini masa kini.
Kentang.
Itu adalah bahan utamanya. Waktu yang diberikan hanya satu jam. Tanpa pikir
panjang aku langsung menyulapnya menjadi Potato Egg and Cheese Scramble. Entah
apa yang dibuat oleh sembilan peserta lain termasuk Rini, tapi Potato Egg and
Cheese Scramble-ku mendapat point tertinggi.
Segmen
kedua adalah bernyanyi. Aku sangat suka bernyanyi walaupun aku tak begitu yakin
dengan suaraku. Aku tersenyum penuh kemenangan karena kemenangan sudah di depan
mataku. Tinggal satu langkah lagi aku akan menjadi Princess of the Year. Dengan
penuh percaya diri aku menyanyikan lagu Hero milik Mariah Carey. Di segmen ini
nilaiku bukan yang tertinggi. Point Rini dan yang lain mulai menyusul point-ku.
Aku tak boleh kalah dari mereka.
Segmen
terakhir adalah merias diri sendiri. Dalam segemen ini peserta harus merias
dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Peserta diberi waktu satu jam
untuk mempercantik dirinya dari atas sampai bawah di dalam satu ruang kecil
yang diberikan panitia untuk masing-masing peserta.
Aku
memasuki ruangku. Aku mulai merias wajah, setelah itu aku mulai mengepang kecil
rambutku dan membiarkan rambut belakangku terurai rapi yang ujungnya di-curly,
tak lupa kusisakan poni tipisku di dahiku. Aku mulai mengecat kukuku dengan
mengkombinasikan dua warna, hijau dan merah muda.
Setelah itu aku mulai
memilih dress yang sangat cocok untuk penampilanku saat ini. Mataku langsung
menangkap dress berkerah berwarna salem. Dress itu terlihat sangat manis. Saat
kupakai ternyata dress itu agak pendek, 10 cm di atas lututku, tapi biarlah aku
akan tetap memakainya. Entah sudah berapa lama waktu yang berjalan kudengar
ruang sebelah agak berisik. Ku intip
ruang di sebelahku yang hanya dibatasi dengan horden itu.
“Rini?” aku tak sengaja
bersuara. Kini, pemilik nama itu menoleh. Ia belum juga merias dirinya, dress
pun belum dipakainya.
“Rini, waktunya tinggal
sebentar lagi. Kenapa kamu belum apa-apa?”
“Ra, aku tidak bisa
melakukan ini semua. Aku tidak tahu cara memakai ini semua. Aku bingung sekali” aku tersenyum licik
mendengarnya.
“Biar ku bantu”
Kesepuluh
peserta keluar dari ruang masing-masing dan berdiri di stage. Dengan iringan
musik kami mulai catwalk di red carpet yang sudah disediakan. Kami bagaikan
profesional model di acara fashion show. Aku tersenyum lebar. Semua mata yang
tertuju pada kami dan mereka bersorak ceria. Ada juga di antara mereka yang
kagum melihat Rini yang sangat berbeda hari itu. Rini dengan wajah penuh
riasan.
Semua
segmen sudah kami lewati. Kini jantung kami berdegup lebih cepat dari
sebelumnya. Para juri sudah bangkit dari kursi panas mereka dan siap memberikan
mahkota dan trofi kemenangan untuk Princess of the Year.
Juri
yang paling muda yang membawa mahkota berputar mengelilingi kami, mencari
pemenang sejati diantara kami. Dan mahkota itu berhenti di...Rini yang berdiri
di sebelah kiriku. Rini pemenang dari Princess of the Year tahun ini. Sedangkan
aku hanya runner up.
Aku
sangat terkejut begitu mengetahuinya. Tapi begitu kulihat ia mengenakan mahkota
itu, ia memang pantas mendapatkannya. Dia sangat cantik dan manis. Aku
memberikan selamat padanya. Rini langsung disambut hangat oleh semua
teman-temannya. Semua pria bahkan mengerumuninya untuk berfoto bersama
dengannya. Bersama Princess of the Year pertama.
“Auu...” aku melihat sepatuku.
Patah. Untung tidak patah saat catwalk tadi. Aku melepas yang satunya lagi
supaya jalanku tetap seimbang. Dan akhirnya aku berjalan tanpa memakai sepatu.
Beberapa
saat kemudian aku mendapati diriku sudah digendong Ricky yang tiba-tiba datang.
“Hei hei what are you
doing!” teriakku padanya.
“Hak sepatumu kan patah,
ya sudah kamu pakai kakiku saja”
“Kamu? Kenapa tiba-tiba
jadi so sweet begini?” tanyaku sambil
mengalungkan tanganku ke lehernya sambil memegang heels-ku.
“Ini hadiah untuk runner
up” aku hanya tertawa kecil. “No, sebenarnya ini
hadiah untuk pemenang sejati” lanjutnya lagi.
“Tapi aku tidak menang.
You know…second place…runner up”
“Tapi kamu sudah merubah
wanita yang biasa menjadi luar biasa bahkan jadi pemenangnya, itu berarti kamu
pemenang sejati”
“Wait a minute. Darimana
kamu tahu?”
“Aku tahu” entah kenapa aku senang
sekali mendengarnya. Aku merasa sangat lega.
“Tapi meskipun kamu bukan
Princess of the Year, would you be Princess? Princess of my Heart?”
“Excuse me?”
“i won’t ask you for twice” katanya sambil tersenyum.
Aku tidak menolak dan tidak mengiyakan. Otak dan hatiku sama-sama berteriak ‘Absolutely yes!’. Tapi lidahku sedang
tidak sinkron. Jawabanku hanyalah satu buah kecupan kecil yang kudaratkan di
pipi kanannya.
“Seriously, kamu tahu
darimana aku yang merias Rini?”
“Simple ... Rini memang
tidak mungkin merias dirinya sendiri hingga bisa seperti itu. Kedua, ruanganmu
bersebelahan dengannya. Dan ketiga, kamu yang baik hati pasti mau membantunya
make up. Benar kan? Ternyata tak hanya wajah kamu yang cantik, tapi hati kamu
juga cantik”
Ricky
terdiam sejenak. Ia memandangku sesaat, kemudian ia tersenyum hampir bersamaan
denganku. Kami akhirnya tertawa bersama.
“By the Way, kita mau
kemana? Kelas kita di sana” aku memandangi kelas
yang kami tinggalkan.
“Hmm...terserah kakiku
saja...”
Aku
senang sekali. Kontes ini mengajariku untuk sportif, mau menolong orang lain,
dan membuatku bisa berbesar hati menerima kekalahanku, dan memberi selamat
kepada pemenangnya, Rini. Tapi, meskipun aku tidak memenangkan kontes itu, aku
senang karena sudah memenangkan hati Ricky, si cowok yang mirip Carter Jenkins
ini. Dan tak ada hal lain yang membuatku sebahagia ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar