Rabu, 17 Desember 2014

Sweet rain



Sweet Rain
By: Queen Elsa



Chandra menambah kecepatan mobilnya di jalan raya yang cukup licin akibat diguyur hujan deras semalam. Kubangan mulai menghiasi pinggir jalan raya yang biasa ia lalui menuju kantornya. Ia tidak menyukai hujan. Saat sebagian orang mensyukuri datangnya  hujan sebagai berkat, tidak bagi Chandra. Baginya hujan hanyalah penghambat aktivitas padatnya. Untungnya hujan sudah berhenti sejak pukul empat dini hari tadi.
Toyota camry hitam mengilapnya memasuki ruang parkir bawah tanah kantornya. Sesaat dilihatnya mobil pemberian kliennya yang merupakan pengusaha karena memenangkan kasus perkara tanah. Menggantikan viosnya yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Mobil hitam mengilap itu kini telah ditempeli noda-noda kecoklatan.
Ia menuju lift bawah tanah dan menekan tombol. Saat pintu lift hendak tertutup, sebuah kaki yang lumayan jenjang dengan sepatu setinggi sebelas sentimeter berwarna merah menahan pintu lift. “Hei, pagi, Chand” sapanya ceria. Namun Chandra hanya membalas dengan senyuman kecil yang terlihat memaksa.
“Hujan tadi malam rupanya membuat moodmu tidak baik di pagi ini ya?” lanjut gadis berambut pirang seleher itu tanpa memandang Chandra. Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, gadis mungil itu keluar perlahan. “Have a nice day, Chand” katanya sambil meninggalkan lift. “Bye” sahut Chandra singkat.
Chandra pun tiba di lantainya. Pintu lift terbuka, ia segera keluar. Sudah sejak lima tahun lalu ia bekerja di kantor itu. Sudah banyak cerita menyebalkan tentang hujan. Di hari pertama ia bekeja, ia datang dengan tubuh setengah basah dan terlambat tiga puluh menit. Rambutnya yang rapi sudah tak terlihat karena bentuknya yang tidak karuan dan basah. Sepatunya yang tidak semengilap saat baru ia semir semalam sebelum ia berangkat kerja. Belum lagi tas yang basah hingga merembes membasahi dokumen-dokumen yang ada di dalamnya.
Ia membenci hari itu, karena bukannya memberi kesan pertama yang baik, tapi malah berantakan. Ia juga sangat membenci hujan sejak saat itu. Ia mendorong pintu kaca berbingkai kayu berwarna coklat gelap. Ia menarik napas panjang saat berada di ruangannya. Ia selalu nyaman berada di sana. Ia merapikan dasi berwarna abu-abu yang menggantung di lehernya.
Seseorang membuka pintu dengan antusias membuat Chandra sedikit tersentak. “Vick! Buka pintunya pelan-pelan tidak bisa?!” ia kembali berkutat dibalik laptopnya. Pria bernama Vicky itu hanya menyunggingkan senyumnya.
“Hari ini jam dua belas siang kamu ada janji dengan Ara Queen”
“Ara Queen?” tanyanya setengag tak percaya. Hatinya kembali bergetar, seperti yang ia rasakan beberapa tahun lalu .
“Iya. sebenarnya aku sudah memberitahumu lewat email, belum kamu terima?”
“Maksudmu Ara Queen penulis The Litle Angel itu?”
“Iya. Dia dituntut oleh penulis lain-Tri Seria-karena merebut hak cipta novel The Litle Angel itu. Aku hanya mengingatkanmu. Siapkan dokumen-dokumenmu ya” Vicky bersiap meninggalkan ruangan itu, namun ia kembali. “Kalau bisa, dapatkan tanda tangannya untukku ya” katanya setengah berbisik namun sepertinya Chandra tidak mendengarnya.
Ara Queen. Ia mengulang nama itu dalam hatinya. Nama yang pernah ia dengar. Nama yang tidak asing baginya. Mungkinkah dia?
***
“Chand, sudah sejam kamu membaca buku itu, kita kesini hanya untuk ini?” Gadis cantik bermata bulat, berambut panjang kepirangan memasukan potongan donat bertabur seres coklat ke dalam mulut mungilnya.
“Aku ada presentasi besok, aku harus konsentrasi. Kamu habiskan saja donatmu ya” Chandra menghapuskan sisa coklat di ujung bibir gadis itu, kemudian kembali menyibukkan diri di balik laptopnya.
“Oh jadi kamu sibuk mengerjakan tugas, dan aku makan begitu? Hey Chandra Antonio calon pengacara hebat, aku sampai mengabaikan novelku demi kamu tahu!”
“Arnelia Queenara calon penulis berbakat, sabar ya. Sebentar lagi tugasku selesai”
“Eits. Jangan panggil aku Arnelia Queenara, karena aku akan terkenal sebagai Ara Queen. Itu nama penaku”
Well, Ara Queen aku butuh bantuanmu. Menurutmu jika ada seorang gadis dengan wajah sembab habis menangis dan menjelaskan bahwa ia telah dianiaya dan diperkosa kamu akan percaya?”
“Kalau dia terlihat meyakinkan, aku percaya”
“Kenapa kamu bisa mudah sekali percaya? Jangan karena kalian sama-sama perempuan lalu kamu mulai empati”
“Kan tadi kamu tanya, sudah kujawab. Itu kan menurutku!”
“Kamu harus belajar melihat sesuatu secara objektif, kalau mengikuti perasaanmu itu kan subjektif, bisa dimanipulasi. Bisa saja dia berakting, untuk itu kita perlu bukti”
“Susah berdebat dengan anak hukum!”
“Lho kenapa kamu jadi membahas jurusanku? Lagipula apa pentingnya belajar bahasa? Apa hebatnya belajar  sastra?” sahutnya tak ingin kalah.
Arnelia mengambil tasnya dan meninggalkan Chandra di dalam kantin sendirian. Ia meremas tangannya sendiri dengan gemas. “Apa hebatnya belajar bahasa dan sastra? Dia akan lihat novelku akan berjejer di deretan rak di toko buku besar. Dia tidak sadar aku telah membantunya mengerjakan tugasnya dengan bahasa yang baik dan rapi” Arnelia mengomel.
Chandra berhenti mengetik. Tiba-tiba otaknya buntu. Jari-jarinya yang tadi lincah menari dia atas keyboard laptopnya, kini terhenti.  Kata-kata yang hendak dijadikannya menjadi kalimat yang utuh kini buyar. Biasanya ia akan meminta bantuan Arnelia jika sudah buntu seperti ini. Ia membutuhkan Arnelia dan menyesali perkataannya tadi. Bahasa ternyata sangat penting.
Ia menutup laptopnya dan merapikan barang-barangnya. Ia mengejar Arnelia. Walau langkah Arnelia sudah cukup jauh, Chandra terus mengejarnya. Ia menahan Arnelia saat sudah berada di dekatnya.
“Tunggu Ar. Aku…aku minta maaf soal perkataanku tadi.”
“Kenapa bisa berubah pikiran?”
“Aku sadar kalau bahasa itu memang…penting”
“Sudah tahu? Baguslah” Arnelia hendak melanjutkan langkahnya, namun ia terhenti saat setetes air tiba-tiba turun membasahai lengan kanannya. Detik berikutnya ratusan, ribuan bahkan lebih tetesan air mulai menyerang mereka, memaksa mereka untuk mencari tempat yang aman jika tidak ingin basah.
Chandra segera menarik Arnelia memasuki gedung F yang merupakan gedung untuk fakultas dan jurusannya.
“A…aku harus panggil apa sekarang? Queen atau Ara?” tanya Chandra tiba-tiba mencoba mencairkan dinginnya suasana saat itu
“Ara Queen! Itu nama penaku dan aku akan terkenal dengan nama itu” katanya bangga. Namun Chandra hanya tertawa mendengarnya.
“Baiklah. Aku sangat setuju, itu nama yang unik”
“Hujannya menenangkan sekali ya. Tidak terlalu deras, tidak ada suara guruh atau petir. Such a sweet rain in a Monday morning” katanya sambil memejamkan mata menikmati angin bercampur cipratan air hujan mengenai tubuhnya.
“Ara Queen, bantu aku selesaikan tugasku ini ya” Chandra memelas. Arnelia melihat ke arahnya. Matanya menyipit mempertimbangkannya. “My pleasure” saat itu mereka sangat menyukai hujan. Jika hujan datang mereka berdiri di tepi gedung sambil menikmati angin bercampur cipratan air hujan yang menyerang mereka. Mereka menghirup napas dalam-dalam menyesakkan paru-paru mereka dengan bau tanah yang khas saat basah. Sweet moment, sweet rain. Kata Chandra dalam hati
***
Kenangan itu kembali bermain di benak Chandra hingga ia tidak menyadari seorang gadis cantik bermata indah di depannya sudah memanggil namanya untuk kesekian kalinya.
“Pengacara Chandra, apa kabar?” gadis itu tersenyum manis.
“Kabar baik penulis Ara Queen” keduanya sama-sama tersenyum. mereka mendiskusikan kasus itu setelah Ara Queen alias Arnelia Queenara menceritakan secara kronologis perihal dirinya yang dituntut oleh penulis lain karena dituduh melanggar hak cipta dengan menjiplak karya orang lain.
Saat tengah membicarakan kasus itu. hujan yang turun siang itu langsung menyita perhatian mereka. “Such a sweet rain in Monday” kata Ara Queen tanpa sadar. “Kamu masih menyukai hujan?” tanya Chandra hati-hati. Ara Queen mengangguk antusias. “Bagaimana denganmu?”
“Bagiku hujan itu menghambat aktivitasku” jelas sekali terlihat bahwa Chandra sudah tidak menyukai hujan.
“Ternyata kamu sudah banyak berubah setelah tujuh tahun”
Menit berikutnya pembicaraan mereka mulai pribadi. Keduanya masih belum berencana berpasangan. Mereka masih menikmati masa lajang mereka dengan karir mereka. Akhirnya, mereka berjabat tangan sebelum berpisah. Ada rasa hangat yang menjalar dari tangan Ara Queen ke dalam tubuhnya. Rasa hangat seperti tujuh tahun lalu. Masih sama, tidak ada yang berubah. Hati Chandra bergetar menyentuh tangan dingin Ara Queen. Meski dingin, namun terasa nyaman serasa tak ingin melepas lagi genggaman itu. Keduanya meninggalkan café dengan langkah berat.
***
Hakim mengetuk palu hingga tiga kali di meja hijau itu tanda berakhirnya sidang siang itu. Ara Queen memenangkan kasus itu. ia terbukti tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Seluruh yang hadir dalam ruangan sidang itu segera meninggalkan ruang sidang itu.
“Terimakasih, ya. Berkatmu aku memenangkan kasus itu. Karena kamu masih menyimpan naskah asliku yang masih berupa tulisan tangan, dan video saat aku menulisnya…aku tidak percaya kamu masih menyimpannya” Chandra hanya tersenyum. Tak ingin menjawab.
Setetes air terjatuh di pipi Ara Queen. Chandra menghapus buliran air itu dengan hati-hati agar make up Acha tak ikut terhapus. Keduanya mendongakkan wajahnya ke langit. “Will it rain?” tanya Chandra. Tiba-tiba tetesan air makin banyak dan cepat turun membasahi mereka. Ara Queen menahan Chandra yang hendak masuk kembali ke gedung pengadilan menghindari hujan yang sangat tidak ia sukai.
Let’s get wet together, Chand!” mereka tak lagi menghiraukan pandangan orang lain kepada mereka. Hujan membasahi tubuh mereka yang dibungkus setelah jas dan blazer berwarna abu-abu. Sweet moment in the sweet rain. Chandra kembali merasakan kehangatan di tengah dinginnya hujan seperti yang ia rasakan tujuh tahun lalu bersama orang yang sama Arnelia Queenara meskipun sekarang sudah menjelma menjadi Ara Queen.

Senin, 01 Desember 2014

My short story


Cantik

 Sshh...Rini cantik sekali, ya? Wajahnya sangat polos katanya masih belum berkedip. What?! Rini? Jadi daritadi dia memperhatikan Rini? Daritadi aku bicara panjang kali lebar kali tinggi kali dalam sama dengan luas, tapi ia tak mendengarkan?! Aku mendengus kesal. Ricky? Listen to me! Teriakku akhirnya. Aku menoleh ke arah lain-yang terus dilihat Ricky-yang tidak memperhatikanku. Kulihat sekelompok gadis tengah duduk santai sambil tertawa kecil. Kelihatannya mereka sedang membicarakan hal yang sangat seru menurut mereka.
Terlahir dengan nama Arini Zelda, yang biasa dipanggil Rini, mempunyai tinggi 158 cm dan berat 48 Kg berkulit putih dengan wajah yang selalu polos tanpa riasan. Aku sangat tidak suka dengan orang berwajah polos. Istilah Diam-diam mematikan adalah yang tepat untuk orang-orang yang berwajah polos atau lugu. Tidak ada yang tahu kan seperti apa sifat asli mereka. Bisa saja mereka justru lebih jahat dari pada orang yang berwajah jahat. Aku sangat membenci orang berwajah polos!
Aku dan Rini sekolah di SMK yang sama. Meskipun berbeda jurusan, tapi aku sudah cukup kesal karena terus menerus bertemu dengannya tiap hari selama tiga tahun. Sekarang lagi-lagi aku harus menahan rasa kesalku karena harus melihat wajahnya tiap hari dan kali ini akan terjadi selama empat tahun! Unbelievable!
Polos? Kamu tidak tahu kan seperti apa dia aslinya? cibirku. Ricky masih asik memandangi Rini. Kamu suka Rini, ya? tanyaku ragu. Ricky mengangguk antusias. Aku membuang nafas dengan kesal. Kutinggalkan Ricky begitu saja di luar. Aku segera masuk kelas. Lima menit lagi mata kuliah pertama dimulai.
Sampai di kelas pun Ricky masih sibuk dengan Rini. Aku tak yakin ia menerima mata kuliah. Aku berusaha tak mempedulikan temanku yang satu ini. Oh, mungkin harus ku akui meskipun kami berteman, tapi aku menyukainya.
Ya, bagaimana tidak? Pertama, dia punya wajah manis yang sangat mirip dengan Carter Jenkins pemain Aliens in the Attic atau setidaknya menurutku dia adalah versi Indonesia. Alasan kedua, itu semua terjadi beberapa bulan lalu saat sekolah kami mengadakan study tour ke puncak.
Salah seorang temanku bercerita tentang kejadian aneh dan di luar nalar manusia yang pernah terjadi di vila itu. Aku yang sangat takut hantu dan hal lain yang berbau mistis meminta Ricky untuk menemaniku sepanjang malam. Akhirnya Ricky tidur di depan kamarku, dengan alasan kalau tiba-tiba aku terbangun dan ingin ke toilet dia bisa mengantarku. Ricky sangat baik.
***
Ra, nanti aku pinjam flashdiskmu, ya. katanya saat kami sedang menunggu pesanan makan siang. Setelah mata kuliah pertama usai. Aku pura-pura tak mendengarnya. Aku sibuk berkutat dengan tabletku dan earphone yang menggantung di telingaku. Ra? Clara? Ricky mencabut salah satu earphone-ku.
What? aku mulai kesal. Pinjam flashdisk ulangnya sambil tersenyum dan mengangkat alis. What for? tanyaku jutek. Copas semua materi tadi. Kamu sudah menyimpan semuanya dalam falshdisk-mu kan jawabnya polos.
Tadi kamu sama sekali ngga dengar atau tulis atau ketik atau apa kek?
No jawabnya tanpa ragu.
Yang ada di pikiranmu hanya Rini, sih
Yes
Kalau begitu No’”
Maksudnya?
Kamu ngga boleh pinjam
Clara please wajahnya mulai memelas.
            Oh my God! Aku paling tidak bisa melihat wajahnya memelas sambil memohon seperti itu. Sial! Aku tidak tega melihatnya. Ok, aku pinjamkan. Tapi lain kali kalau mau pinjam, pakai alasan lain. Jangan bawa-bawa Rini! kataku akhirnya sambil menyerahkan flashdisk-ku. Ya untuk apa juga aku bawa-bawa Rini? Berat kan? sempat-sempatnya dia melucu. Hahaha...crispy sahutku ketus.
***
            Siang ini aku dan Ricky sedang mengerjakan tugas untuk mata kuliah Komunikasi Efektif. Meskipun tugas individu kami selalu mengerjakannya bersama. Tentu saja hasilnya harus berbeda. Ky, tolong ambilkan buku itu dong? kataku tanpa melihatnya. Mataku masih serius menatap layar laptop di hadapanku. Namun tak ada respon darinya. Ky? Ricky? aku menoleh ke arahnya. Hey? aku menyenggol lengannya yang ternyata ia sedang melihatku juga. Ada yang aneh dari wajahku, ya? sambil menepuk-nepuk pipiku sendiri.
            Clara, sebenarnya kalau dilihat-lihat, kamu juga cantik lho kalau polos katanya akhirnya bicara. Aku melepas kacamata anti radiasi-ku.
Stop talking about polos. I hate that
Aku serius, kamu lebih cantik polos, sama seperti Rini
Itu karena kamu jarang melihatku pucat seperti ini tanpa make up, aku yakin kalau Rini sedikit saja memakai riasan kamu pasti makin suka sama dia karena dia biasa polos, sekalinya dia make up sedikit pasti akan terlihat lebih cantik. Lagipula aku bukan anak SMA lagi ya, aku sudah dewasa sekarang, jadi make up sangat penting untuk karirku nanti
Wait a moment Ricky membuka ponselnya. Ia mengutak-atik ponselnya. Beberapa menit kemudian ia menunjukkan ponselnya. Di dalamnya ada fotoku yang sedang memakai dress biru tua saat perpisahan beberapa bulan lalu.
Look at yourself. Powdered face, with blushed cheek, oiled lips, smooky eyes, and bla bla bla ia mendekatkan ponselnya ke telingaku. Membandingkan wajahku saat make up dan saat polos. Foto itu sebenarnya ada Ricky di sebelahku. Kami berfoto saat menerima medali kelulusan. Tapi ia men-zoom fotonya di bagianku. Ternyata dia masih menyimpan foto itu.
Kalau kamu bicara seperti itu, berarti kamu bilang aku cantik, ya? Berarti kamu juga suka sama aku? Ya kan? tebakku dengan sedikit nada canda di dalamnya. Ya aku harus melakukan itu untuk menjaga image-ku.
Aku tidak bilang begitu
Tapi waktu study tour kemarin, kamu tidur di depan kamarku untuk menemaniku kan? tanyaku lagi masih dengan nada meledek.
Hmm...actually itu karena di sebelah kamarmu adalah kamar Rini. Ricky dan Rini, dari nama saja kami sudah serasi
Oh my to the God! Terrible! aku mendengus kesal. Aku benar-benar kesal padanya. Tapi setidaknya aku tahu alasan Ricky sebenarnya.
***
Keesokkan harinya saat aku baru saja duduk di kelas, Ricky sudah menyerahkan selembar kertas berupa brosur lomba. Princess of the Year? aku mengerutkan keningku saat membaca tulisan yang dicetak besar dan tebal yang mendominasi kertas itu.
Iya. Kontes kecantikan yang pertama kali diadakan di kampus ini
Ill join this contest kataku percaya diri
Rini juga harus ikut kontes ini Ricky makin tersenyum lebar.
            Kontes ini pasti mengharuskan setiap orang yang ikut memakai riasan. Rini tidak bisa make up itu berarti dia tidak akan menang. Aku tersenyum licik. Aku membaca persyaratan dan ketentuan lombanya.
            Terlahir dengan nama Clara Evangelista, yang biasa disapa Clara. Mempunyai tinggi 163 cm, berat 49 kg berkulit langsat dengan eyesmiled tak mungkin tak mengikuti kontes ini. Aku menyibakkan poni tipisku.
            Beberapa menit kemudian Rini dan beberapa temannya memasuki kelas. Ricky langsung menghampirinya. Rini, kamu harus ikut kontes ini katanya menyodorkan brosur lomba. Rini tersenyum kecil sambil menerimanya.
Kontes itu terdiri dari tiga segmen. Segmen pertama adalah memasak, segmen kedua adalah bernyanyi, dan segmen terakhir adalah merias diri sendiri. Dan setelah itu semua, pemenangnya haraus menunjukkan di depan banyak orang lifeskill yang ia miliki.
***
            Hari ini, adalah hari yang sangat dinantikan seluruh mahasiswa khususnya mahasiswi yang mengikuti Princess of the Year. Acara dimulai pukul sembilan pagi. Setelah acara pembuka segmen pertama pun langsung dimulai.
            Peserta diharuskan memasak makanan yang bahan makanannya sudah disediakan oleh panitia. Aku sama sekali tidak mengenal juri kontes ini. Yang pasti mereka ada tiga orang, satu diantara mereka berwajah paling sangar mempunyai kumis hitam yang tebal dan tubuh gempal. Orang kedua adalah seorang wanita muda bertubuh tinggi berparas cantik berambut pirang yang sepertinya berdarah campuran. Yang terakhir seorang wanita paruh baya dengan balutan kebaya berwarna keemasan yang terlihat seperti kartini masa kini.
            Kentang. Itu adalah bahan utamanya. Waktu yang diberikan hanya satu jam. Tanpa pikir panjang aku langsung menyulapnya menjadi Potato Egg and Cheese Scramble. Entah apa yang dibuat oleh sembilan peserta lain termasuk Rini, tapi Potato Egg and Cheese Scramble-ku mendapat point tertinggi.
            Segmen kedua adalah bernyanyi. Aku sangat suka bernyanyi walaupun aku tak begitu yakin dengan suaraku. Aku tersenyum penuh kemenangan karena kemenangan sudah di depan mataku. Tinggal satu langkah lagi aku akan menjadi Princess of the Year. Dengan penuh percaya diri aku menyanyikan lagu Hero milik Mariah Carey. Di segmen ini nilaiku bukan yang tertinggi. Point Rini dan yang lain mulai menyusul point-ku. Aku tak boleh kalah dari mereka.
            Segmen terakhir adalah merias diri sendiri. Dalam segemen ini peserta harus merias dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Peserta diberi waktu satu jam untuk mempercantik dirinya dari atas sampai bawah di dalam satu ruang kecil yang diberikan panitia untuk masing-masing peserta.
            Aku memasuki ruangku. Aku mulai merias wajah, setelah itu aku mulai mengepang kecil rambutku dan membiarkan rambut belakangku terurai rapi yang ujungnya di-curly, tak lupa kusisakan poni tipisku di dahiku. Aku mulai mengecat kukuku dengan mengkombinasikan dua warna, hijau dan merah muda.
Setelah itu aku mulai memilih dress yang sangat cocok untuk penampilanku saat ini. Mataku langsung menangkap dress berkerah berwarna salem. Dress itu terlihat sangat manis. Saat kupakai ternyata dress itu agak pendek, 10 cm di atas lututku, tapi biarlah aku akan tetap memakainya. Entah sudah berapa lama waktu yang berjalan kudengar ruang sebelah  agak berisik. Ku intip ruang di sebelahku yang hanya dibatasi dengan horden itu.
            Rini? aku tak sengaja bersuara. Kini, pemilik nama itu menoleh. Ia belum juga merias dirinya, dress pun belum dipakainya.
Rini, waktunya tinggal sebentar lagi. Kenapa kamu belum apa-apa?
Ra, aku tidak bisa melakukan ini semua. Aku tidak tahu cara memakai ini semua. Aku bingung sekali aku tersenyum licik mendengarnya.
Biar ku bantu
            Kesepuluh peserta keluar dari ruang masing-masing dan berdiri di stage. Dengan iringan musik kami mulai catwalk di red carpet yang sudah disediakan. Kami bagaikan profesional model di acara fashion show. Aku tersenyum lebar. Semua mata yang tertuju pada kami dan mereka bersorak ceria. Ada juga di antara mereka yang kagum melihat Rini yang sangat berbeda hari itu. Rini dengan wajah penuh riasan.
            Semua segmen sudah kami lewati. Kini jantung kami berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Para juri sudah bangkit dari kursi panas mereka dan siap memberikan mahkota dan trofi kemenangan untuk Princess of the Year.
            Juri yang paling muda yang membawa mahkota berputar mengelilingi kami, mencari pemenang sejati diantara kami. Dan mahkota itu berhenti di...Rini yang berdiri di sebelah kiriku. Rini pemenang dari Princess of the Year tahun ini. Sedangkan aku hanya runner up.
            Aku sangat terkejut begitu mengetahuinya. Tapi begitu kulihat ia mengenakan mahkota itu, ia memang pantas mendapatkannya. Dia sangat cantik dan manis. Aku memberikan selamat padanya. Rini langsung disambut hangat oleh semua teman-temannya. Semua pria bahkan mengerumuninya untuk berfoto bersama dengannya. Bersama Princess of the Year pertama.
            Auu... aku melihat sepatuku. Patah. Untung tidak patah saat catwalk tadi. Aku melepas yang satunya lagi supaya jalanku tetap seimbang. Dan akhirnya aku berjalan tanpa memakai sepatu.
            Beberapa saat kemudian aku mendapati diriku sudah digendong Ricky yang tiba-tiba datang.
Hei hei what are you doing! teriakku padanya.
Hak sepatumu kan patah, ya sudah kamu pakai kakiku saja
Kamu? Kenapa tiba-tiba jadi so sweet begini? tanyaku sambil mengalungkan tanganku ke lehernya sambil memegang heels-ku.
Ini hadiah untuk runner up aku hanya tertawa kecil. No, sebenarnya ini hadiah untuk pemenang sejati lanjutnya lagi.
Tapi aku tidak menang. You knowsecond placerunner up
Tapi kamu sudah merubah wanita yang biasa menjadi luar biasa bahkan jadi pemenangnya, itu berarti kamu pemenang sejati
Wait a minute. Darimana kamu tahu?
Aku tahu entah kenapa aku senang sekali mendengarnya. Aku merasa sangat lega.
Tapi meskipun kamu bukan Princess of the Year, would you be Princess? Princess of my Heart?
Excuse me?
i wont ask you for twice katanya sambil tersenyum. Aku tidak menolak dan tidak mengiyakan. Otak dan hatiku sama-sama berteriak Absolutely yes!. Tapi lidahku sedang tidak sinkron. Jawabanku hanyalah satu buah kecupan kecil yang kudaratkan di pipi kanannya.
Seriously, kamu tahu darimana aku yang merias Rini?
Simple ... Rini memang tidak mungkin merias dirinya sendiri hingga bisa seperti itu. Kedua, ruanganmu bersebelahan dengannya. Dan ketiga, kamu yang baik hati pasti mau membantunya make up. Benar kan? Ternyata tak hanya wajah kamu yang cantik, tapi hati kamu juga cantik
            Ricky terdiam sejenak. Ia memandangku sesaat, kemudian ia tersenyum hampir bersamaan denganku. Kami akhirnya tertawa bersama.
By the Way, kita mau kemana? Kelas kita di sana aku memandangi kelas yang kami tinggalkan.
Hmm...terserah kakiku saja...
            Aku senang sekali. Kontes ini mengajariku untuk sportif, mau menolong orang lain, dan membuatku bisa berbesar hati menerima kekalahanku, dan memberi selamat kepada pemenangnya, Rini. Tapi, meskipun aku tidak memenangkan kontes itu, aku senang karena sudah memenangkan hati Ricky, si cowok yang mirip Carter Jenkins ini. Dan tak ada hal lain yang membuatku sebahagia ini.
***