Sweet Rain
By: Queen Elsa
Chandra menambah kecepatan mobilnya di jalan raya yang
cukup licin akibat diguyur hujan deras semalam. Kubangan mulai menghiasi
pinggir jalan raya yang biasa ia lalui menuju kantornya. Ia tidak menyukai
hujan. Saat sebagian orang mensyukuri datangnya
hujan sebagai berkat, tidak bagi Chandra. Baginya hujan hanyalah
penghambat aktivitas padatnya. Untungnya hujan sudah berhenti sejak pukul empat
dini hari tadi.
Toyota camry hitam mengilapnya memasuki ruang parkir
bawah tanah kantornya. Sesaat dilihatnya mobil pemberian kliennya yang
merupakan pengusaha karena memenangkan kasus perkara tanah. Menggantikan
viosnya yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Mobil hitam mengilap itu kini telah
ditempeli noda-noda kecoklatan.
Ia menuju lift bawah tanah dan menekan tombol. Saat
pintu lift hendak tertutup, sebuah kaki yang lumayan jenjang dengan sepatu
setinggi sebelas sentimeter berwarna merah menahan pintu lift. “Hei, pagi,
Chand” sapanya ceria. Namun Chandra hanya membalas dengan senyuman kecil yang
terlihat memaksa.
“Hujan tadi malam rupanya membuat moodmu tidak baik di
pagi ini ya?” lanjut gadis berambut pirang seleher itu tanpa memandang Chandra.
Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, gadis mungil itu keluar perlahan.
“Have a nice day, Chand” katanya sambil meninggalkan lift. “Bye” sahut Chandra
singkat.
Chandra pun tiba di lantainya. Pintu lift terbuka, ia
segera keluar. Sudah sejak lima tahun lalu ia bekerja di kantor itu. Sudah
banyak cerita menyebalkan tentang hujan. Di hari pertama ia bekeja, ia datang
dengan tubuh setengah basah dan terlambat tiga puluh menit. Rambutnya yang rapi
sudah tak terlihat karena bentuknya yang tidak karuan dan basah. Sepatunya yang
tidak semengilap saat baru ia semir semalam sebelum ia berangkat kerja. Belum
lagi tas yang basah hingga merembes membasahi dokumen-dokumen yang ada di
dalamnya.
Ia membenci hari itu, karena bukannya memberi kesan
pertama yang baik, tapi malah berantakan. Ia juga sangat membenci hujan sejak
saat itu. Ia mendorong pintu kaca berbingkai kayu berwarna coklat gelap. Ia
menarik napas panjang saat berada di ruangannya. Ia selalu nyaman berada di
sana. Ia merapikan dasi berwarna abu-abu yang menggantung di lehernya.
Seseorang membuka pintu dengan antusias membuat
Chandra sedikit tersentak. “Vick! Buka pintunya pelan-pelan tidak bisa?!” ia
kembali berkutat dibalik laptopnya. Pria bernama Vicky itu hanya menyunggingkan
senyumnya.
“Hari ini jam dua belas siang kamu ada janji dengan Ara
Queen”
“Ara Queen?” tanyanya setengag tak percaya. Hatinya
kembali bergetar, seperti yang ia rasakan beberapa tahun lalu .
“Iya. sebenarnya aku sudah memberitahumu lewat email,
belum kamu terima?”
“Maksudmu Ara Queen penulis The Litle Angel itu?”
“Iya. Dia dituntut oleh penulis lain-Tri Seria-karena
merebut hak cipta novel The Litle Angel
itu. Aku hanya mengingatkanmu. Siapkan dokumen-dokumenmu ya” Vicky bersiap
meninggalkan ruangan itu, namun ia kembali. “Kalau bisa, dapatkan tanda
tangannya untukku ya” katanya setengah berbisik namun sepertinya Chandra tidak
mendengarnya.
Ara Queen. Ia mengulang nama itu dalam hatinya. Nama
yang pernah ia dengar. Nama yang tidak asing baginya. Mungkinkah dia?
***
“Chand, sudah sejam kamu membaca buku itu, kita kesini
hanya untuk ini?” Gadis cantik bermata bulat, berambut panjang kepirangan
memasukan potongan donat bertabur seres coklat ke dalam mulut mungilnya.
“Aku ada presentasi besok, aku harus konsentrasi. Kamu
habiskan saja donatmu ya” Chandra menghapuskan sisa coklat di ujung
bibir gadis itu, kemudian kembali menyibukkan diri di balik laptopnya.
“Oh jadi kamu sibuk mengerjakan tugas, dan aku makan
begitu? Hey Chandra Antonio calon pengacara hebat, aku sampai mengabaikan
novelku demi kamu tahu!”
“Arnelia Queenara calon penulis berbakat, sabar ya.
Sebentar lagi tugasku selesai”
“Eits. Jangan panggil aku Arnelia Queenara, karena aku
akan terkenal sebagai Ara Queen. Itu nama penaku”
“Well, Ara
Queen aku butuh bantuanmu. Menurutmu jika ada seorang gadis dengan wajah sembab
habis menangis dan menjelaskan bahwa ia telah dianiaya dan diperkosa kamu akan
percaya?”
“Kalau dia terlihat meyakinkan, aku percaya”
“Kenapa kamu bisa mudah sekali percaya? Jangan karena
kalian sama-sama perempuan lalu kamu mulai empati”
“Kan tadi kamu tanya, sudah kujawab. Itu kan menurutku!”
“Kamu harus belajar melihat sesuatu secara objektif,
kalau mengikuti perasaanmu itu kan subjektif, bisa dimanipulasi. Bisa saja dia
berakting, untuk itu kita perlu bukti”
“Susah berdebat dengan anak hukum!”
“Lho kenapa kamu jadi membahas jurusanku? Lagipula apa
pentingnya belajar bahasa? Apa hebatnya belajar sastra?” sahutnya tak ingin kalah.
Arnelia mengambil tasnya dan meninggalkan Chandra di
dalam kantin sendirian. Ia meremas tangannya sendiri dengan gemas. “Apa
hebatnya belajar bahasa dan sastra? Dia akan lihat novelku akan berjejer di
deretan rak di toko buku besar. Dia tidak sadar aku telah membantunya mengerjakan tugasnya dengan bahasa yang baik dan rapi” Arnelia mengomel.
Chandra berhenti mengetik. Tiba-tiba otaknya buntu.
Jari-jarinya yang tadi lincah menari dia atas keyboard laptopnya, kini
terhenti. Kata-kata yang hendak
dijadikannya menjadi kalimat yang utuh kini buyar. Biasanya ia akan meminta
bantuan Arnelia jika sudah buntu seperti ini. Ia membutuhkan Arnelia dan
menyesali perkataannya tadi. Bahasa ternyata sangat penting.
Ia menutup laptopnya dan merapikan barang-barangnya.
Ia mengejar Arnelia. Walau langkah Arnelia sudah cukup jauh, Chandra terus
mengejarnya. Ia menahan Arnelia saat sudah berada di dekatnya.
“Tunggu Ar. Aku…aku minta maaf soal perkataanku
tadi.”
“Kenapa bisa berubah pikiran?”
“Aku sadar kalau bahasa itu memang…penting”
“Sudah tahu? Baguslah” Arnelia hendak melanjutkan
langkahnya, namun ia terhenti saat setetes air tiba-tiba turun membasahai
lengan kanannya. Detik berikutnya ratusan, ribuan bahkan lebih tetesan air
mulai menyerang mereka, memaksa mereka untuk mencari tempat yang aman jika
tidak ingin basah.
Chandra segera menarik Arnelia memasuki gedung F yang
merupakan gedung untuk fakultas dan jurusannya.
“A…aku harus panggil apa sekarang? Queen atau Ara?” tanya
Chandra tiba-tiba mencoba mencairkan dinginnya suasana saat itu
“Ara Queen! Itu nama penaku dan aku akan terkenal
dengan nama itu” katanya bangga. Namun Chandra hanya tertawa mendengarnya.
“Baiklah. Aku sangat setuju, itu nama yang unik”
“Hujannya menenangkan sekali ya. Tidak terlalu deras,
tidak ada suara guruh atau petir. Such a
sweet rain in a Monday morning” katanya sambil memejamkan mata menikmati
angin bercampur cipratan air hujan mengenai tubuhnya.
“Ara Queen, bantu aku selesaikan tugasku ini ya”
Chandra memelas. Arnelia melihat ke arahnya. Matanya menyipit
mempertimbangkannya. “My pleasure”
saat itu mereka sangat menyukai hujan. Jika hujan datang mereka berdiri di tepi
gedung sambil menikmati angin bercampur cipratan air hujan yang menyerang
mereka. Mereka menghirup napas dalam-dalam menyesakkan paru-paru mereka dengan
bau tanah yang khas saat basah. Sweet
moment, sweet rain. Kata Chandra dalam hati
***
Kenangan itu kembali bermain di benak Chandra hingga
ia tidak menyadari seorang gadis cantik bermata indah di depannya sudah
memanggil namanya untuk kesekian kalinya.
“Pengacara Chandra, apa kabar?” gadis itu tersenyum
manis.
“Kabar baik penulis Ara Queen” keduanya sama-sama
tersenyum. mereka mendiskusikan kasus itu setelah Ara Queen alias Arnelia
Queenara menceritakan secara kronologis perihal dirinya yang dituntut oleh
penulis lain karena dituduh melanggar hak cipta dengan menjiplak karya orang
lain.
Saat tengah membicarakan kasus itu. hujan yang turun
siang itu langsung menyita perhatian mereka. “Such a sweet rain in Monday” kata Ara Queen tanpa sadar. “Kamu
masih menyukai hujan?” tanya Chandra hati-hati. Ara Queen mengangguk antusias.
“Bagaimana denganmu?”
“Bagiku hujan itu menghambat aktivitasku” jelas sekali
terlihat bahwa Chandra sudah tidak menyukai hujan.
“Ternyata kamu sudah banyak berubah setelah tujuh
tahun”
Menit berikutnya pembicaraan mereka mulai pribadi.
Keduanya masih belum berencana berpasangan. Mereka masih menikmati masa lajang
mereka dengan karir mereka. Akhirnya, mereka berjabat tangan sebelum berpisah.
Ada rasa hangat yang menjalar dari tangan Ara Queen ke dalam tubuhnya. Rasa
hangat seperti tujuh tahun lalu. Masih sama, tidak ada yang berubah. Hati
Chandra bergetar menyentuh tangan dingin Ara Queen. Meski dingin, namun terasa
nyaman serasa tak ingin melepas lagi genggaman itu. Keduanya meninggalkan café
dengan langkah berat.
***
Hakim mengetuk palu hingga tiga kali di meja hijau itu
tanda berakhirnya sidang siang itu. Ara Queen memenangkan kasus itu. ia
terbukti tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Seluruh yang hadir dalam
ruangan sidang itu segera meninggalkan ruang sidang itu.
“Terimakasih, ya. Berkatmu aku memenangkan kasus itu.
Karena kamu masih menyimpan naskah asliku yang masih berupa tulisan tangan, dan
video saat aku menulisnya…aku tidak percaya kamu masih menyimpannya” Chandra
hanya tersenyum. Tak ingin menjawab.
Setetes air terjatuh di pipi Ara Queen. Chandra
menghapus buliran air itu dengan hati-hati agar make up Acha tak ikut terhapus.
Keduanya mendongakkan wajahnya ke langit. “Will
it rain?” tanya Chandra. Tiba-tiba tetesan air makin banyak dan cepat turun
membasahi mereka. Ara Queen menahan Chandra yang hendak masuk kembali ke gedung
pengadilan menghindari hujan yang sangat tidak ia sukai.
“Let’s get wet
together, Chand!” mereka tak lagi menghiraukan pandangan orang lain kepada
mereka. Hujan membasahi tubuh mereka yang dibungkus setelah jas dan blazer
berwarna abu-abu. Sweet moment in the
sweet rain. Chandra kembali merasakan kehangatan di tengah dinginnya hujan
seperti yang ia rasakan tujuh tahun lalu bersama orang yang sama Arnelia
Queenara meskipun sekarang sudah menjelma menjadi Ara Queen.