Asal
Mula Ci Bulakan
Pada
zaman dahulu pada masa kesultanan banten pada saat sultan maulana hasanudin
banten berkuasa, beliau memiliki seorang putra yang bernama syeh mansur, syeh
masyur adalah seorang pemuda yang cerdas yang ingin menyempurnakan ilmunya
dengan pergi ke Mekah. Pada saat itu Syeh Mansur masih sangat muda, usianya
baru menginjak 18 tahun. Karena umurnya yang masih muda itu, Sultan Maulana
Hasanudin tidak mengizinkan Syeh Mansur pergi ke Mekah untuk menyempurnakan
ilmunya. Karena larangan orang tuanya itu, Syeh Mansur tetap memaksa untuk
pergi. Ia pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia memanfaatkan ilmunya dan
memulai perjalanan dari kesultanan Banten. Secara ajaib ia bisa berjalan di
dalam tanah.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan
lama di dalam tanah, Syeh Mansur merasa bahwa dirinya sudah sampai di Mekah. Ia
pun keluar dari dalam tanah, dan sampai di tempat yang sejuk dan ditumbuhi
banyak pohon. Ia percaya bahwa sudah sampai di tempat tujuannya, Mekah. Karena
tujuannya untuk menyempurnakan ilmunya, Syeh Mansur beribadah di tempat itu,
sholat dan mengaji. Di tengah-tengah kegiatannya menyempurnakan ilmunya itu, ia
mendengar suara ayam berkokok. Ia mulai curiga, bahwa tempat itu bukanlah
Mekah. Ia merasa ia masih di tanah kelahirannya. Maka ia berinisiatif untuk
meninggalkan tempat itu. Ia belum menyerah untuk dapat sampai di Mekah. Ia pun
melanjutkan perjalanannya dengan menempuh jalur tanah seperti sebelumnya.
Sepeninggal Syeh Mansur, keluarlah air dari tempat ia keluar dari tanah saat
pertama kali tiba.
Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh di
dalam tanah, Syeh Mansur keluar dari tanah dan tibalah di tempat yang terdapat
bebatuan, beliau berpikir sudah sampai di Mekah. Seperti niatnya sebelumnya
beliau beribadah, dengan mengaji di atas batu itu, dan menulis huruf arab di
atas batu itu (konon katanya hal itu hanya bisa di baca oleh orang-orang
tertentu). Kemudian, Syeh Mansur mendengar suara lesung, ia berpikir bahwa ia
tempat itu bukan Mekah. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan dari dalam tanah.
Syeh Mansur tiba di Cikaduen, ia berpikir bahwa kali ini ia sudah sampai di
Mekah. Ia kembali beribadah. Namun ternyata ia sadar, temat itu bukan Mekah.
Syeh Mansur lelah, ia sudah melakukan perjalanan yang lama dan jauh namun belum
juga tiba di Mekah. Ia akhirnya kembali ke Kesultanan Banten dengan berjalan
kaki.
Tempat pertama yang disinggahi Syeh Mansur,
yang semula ia kira adalah Mekah, mengeluarkan air dari lubang tanah Syeh
Mansur. Tempat itu dinamakan Ci Bulakan yang berlokasi di Kp.
Kubang Landeuh RT 017 RW 005 Desa Sukarena Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang
Provinsi Banten. Batu
dengan tulisan arab yang ditulis oleh Syeh Mansur itu sekarang dikenal sebagai
Batu Quran, yang terletak di di Desa Cibulakan Kecamatan
Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Banyak peziarah yang datang Batu Quran
dalam rangka wisata religi. Tempat
terakhir yang didatangi Syeh Mansur kini bernama Cikaduen, yang merupakan
sebuah desa
di Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, yang juga menjadi tempat dimakamkannya Syeh Mansur.
Berikut fotonya:
Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi
I)
Objek wisata alam Cibanten (dulunya
merupakan wahana wisata alam pemandian) berada di desa Suka Bares. Kec.Ciomas, Kab.
Serang-Banten. Selain menjadi tempat objek wisata pemandian, sumber
air berwarna biru ini memiliki banyak sejarah dan menjadi keramat leluhur bagi
masyarakat sekitarnya. Sejak zaman kerajaan sultan Banten, Cibanten memang
sudah ada. Cibanten dulu dikenal dengan sumur. Tepatnya dikenal dari ke tujuh
nama sumur di sekitar wilayah Gunung Karang (Ciomas dan Pandeglang)
atau sumur tujuh (7). Cibanten merupakan sumber air yang paling utama
atau terdekat di sekitar lingkungan masyarakat (Pabuaran dan Ciomas). Air
sungai dari Cibanten mengalir sampai ke Banten Lama (Karangantu) dan air sungai
ini pun akhirnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pertanian.
Cibanten memiliki
banyak sejarah misteri pada zaman sebelum kesultanan, tepatnya pada zaman Sangkuriang,
ada seseorang yang di kenal dengan nama Nyi Mas Gamparan (Waliulloh). Pada saat
ini, masyarakat percaya sumber tujuh sumur itu dibuat oleh Nyi Mas Gamparan,
yang ceritanya dikabarkan oleh narasumber dari seorang tokoh masyarakat atau
juru kunci Cibanten, H.Darwis. Pada zaman dahulu kala, Nyi Mas Gamparan mencari
air untuk pengobatan seorang sahabatnya, kemudian ia mencari air tersebut. Air
tersebut diberi oleh seseorang yang berilmu tinggi dan dipercayai orang itu
adalah para wali. Setelah bertemu dan diberi air itu, oleh seseorang
kakek, air itu diberi dan ditumpahkan pada tampahan kedua tangannya Nyi Mas
Gamparan. Ketika Nyi Mas Gamparan Membawa air itu, tumpahlah setetes
demi setetes ke permukaan dan dari tumpahan air itu pula jadilah sebuah sumur.
Tujuh sumur tersebut yaitu Cibanten, Cigewok, Talaga, Cirampones, Ciwasiat, Curug
Nangka, dan terakhir Sumur Tujuh (puncak Gunung Karang).
Ketujuh
sumur ini tepatnya berada di wilayah yang berdekatan dengan Gunung Karang
Ciomas - Pandeglang. Di masa kesultanan Banten, saat kerajaan Cirebon, Syarif
Hidayatulloh, pada saat itu Cirebon sedang mengalami peperangan dengan kerajaan
Majapahit. Suatu ketika sultan Cirebon (Syarif Hidayatulloh) berpikir untuk
membuat senjata ketika akan berperang melawan kerajaan
Majapahit. Pada saat itulah sultan Cirebon memilih untuk membuat
senjata itu di kerajaan Banten.
Setelah
gambar senjata tersebut yang sudah dibuat oleh sultan Cirebon sudah
jadi, sultan bergegas menyuruh seorang pengawalnya untuk mengirimkan
gambar senjata tersebut ke Banten dan memberikan suatu amanah agar dapat
menyampaikan pesan ini kepada Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya tepatnya di desa
Ciomas. Setelah seorang
pengawalnya sampai kepada Empu dan menyerahkan gambar senjata dan
menyampaikan amanat tersebut, berkatalah seorang Empu Sekh Sepuh /Wali
Jaya kepada seorang pengawal sultan agar ia bisa mengambil kembali senjata
itu selama tujuh hari tujuh malam. Bergegaslah seorang pengawal sultan Cirebon itu
kembali ke kerajaannya Cirebon.
Di
hari terakhir pembuatan senjata itu Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya mencuci senjata
itu ke tujuh sumur termasuk sumur Cibanten yang pertama dan terakhir di puncak
Gunung Karang (sumur tujuh) senjata itu yang dimaksud dengan golok Ciomas. Cerita
ini dikabarkan oleh seorang narasumber cucu dari empu yang berasal dari ciomas
(Ustadz Uming-gunung sumbul).
Dari
zaman ke zaman, sumur Cibanten terus mengeluarkan air yang akhirnya menjadi
sumber air yang tampak seperti kolam. Tempat ini kemudian dijaga dan
dilestarikan oleh masyarakat sekitar Cibanten. Akhirnya tempat ini menjadi
sumber kehidupan sehari–hari bagi masyarakatnya. Tempat ini konon dipercaya
masyarakat sebagai tempat peninggalan keramat dan airnya pun berkhasiat untuk
pengobatan. Tidak hanya itu, tempat ini setiap harinya digunakan warga penduduk
sekitar untuk mandi dan banyak juga pengunjung yang datang dari penjuru luar
daerah untuk berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser Negara. Konon makam
tersebut adalah sosok seseorang yang bertapa untuk berilmu dan menjaga sumur
ini, dan pada akhirnya meninggal ditempat itu. Kemudian masyarakat berinisiatif
untuk menjadikan tempat ini sebagai objek kunjungan atau wisata. Akhhirnya
sumber objek wisata ini diresmikan oleh pemerintah Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan.
Tempat
ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai daerah pada tahun
1978. Para pengunjung yang berdatangan ke tempat ini hanya melakukan
pemandian/berenang dan ada pula yang berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser
Negara. Pengunjung yang terhitung kunjungannya ke tempat ini mencapai 150 s/d
230 orang perbulannya.
Namun
setiap 2 tahun sekali tepatnya pada tahun 2001 s/d 2007 pengunjung yang
berenang ke tempat ini selalu menjadi korban yang tenggelam di
tempat ini. Seorang sumber yang memberikan informasi mengujarkan “Adanya korban
tersebut karena sering berkunjung dan melakukan maksiat di tempat ini. Oleh
karena itu penjaga gaib di tempat ini tidak merasa senang jika kedatangan tamu ke
tempat ini berbuat hal yang tidak lazim” begitulah ujarnya.
Setelah
para pengunjung dari luar daerah tahu tempat ini begitu berbahaya sehingga memakan
korban akhirnya kedatangan pengunjung pun menurun drastis pada tahun 2007
sampai 2011. Sampai–sampai satu minggu pun pengunjung yang datang ke tempat itu
terhitung cukup sedikit, maksimal 15 sampai 20 orang saja, dan itu pun sangat
jarang. Pada saat itu pula objek wisata ini pun tidak begitu terawat
kebersihannya dan pemerintah setempat kurang memperhatikan lagi tempat objek
wisata ini.
Tahun
2011, tepatnya pada pertengahan tahun, tempat ini mulai diperhatikan kembali
oleh segenap forum aktivis dari kepemudaan (pencinta alam), pada saat itu mulai
dibersihkan lumut-lumut air dan sampah-sampah dari tempat ini. Pada saat
kegiatan bakti sosial itu, masyarakat akhirnya bisa tergugahkan hatinya, dan
mulai bisa untuk menjaga cagar budaya objek wisata alam ini kembali sampai
tahun sekarang. Pada tahun 2013 pengunjung yang biasanya berkunjung ke tempat
ini semula hanya untuk berenang akhirnya sekarang melakukan aktivitas kegiatan
memancing. Sampai sekarang kegiatan pengunjung lebih banyak memancing setiap
harinya. Pengunjung yang berdatangan ke tempat ini lebih banyak dibanding pada
tahun 2011 dan 2013, yang mencapai 30 sampai 40 perharinya.
Ada
sebuah mitos di Cibanten. Ada sesosok ikan besar di Cibanten, setiap
harinya ikan itu masih bisa dilihat, namun setiap Cibanten dikeringkan oleh
seorang pawang air (H.Darwis) yang menutup sumber pintu air Cibanten ini, ikan
itu sama sekali tidak nampak keberadaannya, walaupun masyarakat sekitar mencari
ikan ini sampai ke semak-semak yang sama sekali tak terlihat tapi sama sekali
tidak ditemukan. Konon ikan ini dipercaya masyarakat bisa membawa rezeki atau
keberhasilan bagi orang yang percaya bisa melihatnya saja. Ketinggian dan kedalaman
volume sungai ini berkisar5-6 meter dari permukaan dasar tanah, tapi di dasar
sampingnya kedalaman sungai ini hanya 1 sampai 2 meter saja.
Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi
II)
Cibanten
adalah salah satu sumber air yang berada di Kampung Masigit, Desa Sukabares
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten. Asal mula diberi nama Cibanten dikarenakan
pada masa kesultanan Banten, sangat sulit mencari sumber air yang dapat mengairi
sebagian besar daerah Banten, hingga akhirnya ditemukanlah sumber air ini yang
kemudian diberi nama Cibanten. Cibanten dilestarikan oleh pemerintah, dirawat
dan dilindungi oleh perhutani. Alirannya sampai ke kali Banten dan mayoritas
digunakan oleh penduduk pada masa kesultanan Banten dan hingga kini masih
digunakan.
Air
ini digunakan untuk keperluan pengairan lahan pertanian dan untuk dikonsumsi
masyarakat dan kesultanan banten. Airnya tidak pernah surut sepanjang tahun
meskipun pada musim kemarau. Masyarakat Ciomas memanfaatkan Cibanten untuk
keperluan sehari-hari untuk ketika musim kemarau. Aliran air Cibanten tidak
boleh digunakan untuk keperluan industri, lantaran masyarakat mempercayai jika
digunakan akan mendatangkan musibah karena Cibanten merupakan situ (danau)
keramat. Air di Cibanten mengandung kadar besi dan berwarna biru
kehijau-hijauan dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
Konon,
Cibanten merupakan situ keramat. Sumber air Cibanten ini berasal dari potongan
pohon yang ditebang pada saat penjajahan Belanda. Air yang berasal dari
Cibanten ini berwarna biru kehijau-hijauan dan dapat digunakan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Banyak orang yang berasal dari luar Ciomas
bahkan luar Banten hanya untuk mengambil airnya dan dimanfaatkan untuk
menyebuhkan penyakit yang diderita. Menurut salah satu warga di sekitar
Cibanten bahwa ketika malam Jumat banyak orang yang berdatangan untuk berendam
di air tersebut karena agar penyakit yang dideritanya dapat sembuh. Suatu
ketika ada seorang pengunjung yang datang ke Cibanten untuk mengambil air
menggunakan sebuah galon. Ketika galon sudah dipenuhi oleh air, tetapi galon
tersebut tidak dapat diangkat. Menurut warga setempat jika ada seseorang yang
berbuat maksiat atau mempunyai niat yang tidak baik maka akan terjadi sesuatu
dengan dirinya. Konon, penunggu Cibanten tidak senang dengan seseorang yang
berbuat tidak baik.
Pengunjung yang pertama kali melihat
Cibanten akan melihat pemandangan yang berbeda-beda. Ada yang melihat bahwa di potongan
kayu tersebut ada seseorang yang sedang bertapa, air yang membelah seperti
jalan raya, kerajaan dan adapula yang melihat hantu. Semua itu tergantung hati
dan niat pengunjung. Apakah hati dan niat pengunjung itu
baik atau tidak.
Asal Mula Sumber Air Cibanten
(Versi III)
Di
Banten, tepatnya di Kecamatan Ciomas terdapat sebuah sumber air yang terbentuk
seperti kolam. Airnya berwarna biru kehijau-hijauan. Pada zaman dahulu, Sultan
Maulana Hasanudin sedang melakukan perjalanan panjang ke Gunung Manjeti, yang
sekarang biasa disebut Kecamatan Ciomas. Tepat waktu dzuhur sultan akan
melakukan ibadah shalat dzuhur, tapi tidak ada air di lahan seluas 7 Hektar
tersebut, akhirnya sultan mengucapkan lafadz Basmalah dengan izin Allah
keluarlah air dari dalam tanah tersebut, sultan akhirnya membersihkan diri
dengan cara berwudhu dan dilanjutkan dengan solat dzuhur lalu melanjutkan
perjalanan ke Gunung Manjeti. Akan tetapi air yang tadi keluar dari tanah terus
menerus keluar sehingga menjadi sumber air untuk masyarakat. Menjadi sebuah
kolam yang diurus masyarakat sampai sekarang.
Banyak
sekali hal-hal yang mistis yang dipercayai masyarakat sekitar dan orang-orang
luar sekali pun, menurut sesepuh yang ada di aderah Ci Banten ini, ada seorang
pria yang setiap malam selalu memancing di kolam Cibanten tersebut, dan malam
itu beliau menemukan kejanggalan yang terdapat di dalam air tersebut, kail
pancing yang dia lemparkan tidak kunjung tenggelam dalam air, pancing itu
selalu terpental seperti di lemparkan ke atas permukaan air es yang membeku,
maka orang itu berinisiatif untuk turun kedalam air, dan benar saja ternyata
air tersebut memang membeku untuk beberapa saat. Sungguh hal itu di luar logika
manusia kenapa air tersebut bisa membeku beberapa saat, dan setelah kejadian
itu diceritakan orang itu mendapatkan kekuatan yang tak bisa dilukai oleh benda
tajam.
Namun,
sebelum kejadian air kolam Cibanten membeku menjadi air es untuk beberapa saat
pernah terjadi, ada kejanggalan lain yang ditemukan oleh pemancing tersebut.
Saat orang itu memancing tengah malam dia melihat ada ikan yang luar biasa
besar yang sedang berenang dan diikuti oleh ikan-ikan kecil, tapi tidak ada
ikan yang mau memakan umpan dari pancing pria tersebut.
Legenda Rawa Danau Padarincang
Rawa
Danau Padarincang, terletak di Kecamatan Padarincang, berbatasan dengan
Kecamatan Cinangka. Danau Padarincang tekenal sebagai danau tertinggi Asia.
Cerita di balik Rawa Danau itu yaitu sebagai berikut:
Dahulu,
daerah rawa danau adalah hutan atau perkebunan yang sangat hijau dan subur.
Datanglah seorang yang sangat paham dan ahli mengenai agam dari Mekah yaitu
H.Muhidin. H.Muhidin berkeinginan membangun kota Mekah kedua di daerah
tersebut, membangun masjid, pesantren dan mengembangkan Islam yang lebih kuat
di tempat itu. Suatu hari pada saat pembangunan masjid yang didirikan H.Muhidin
dengan para santri dan warga, H. Muhidin ingin buang air kecil, lalu keluar
dari masjid dan buang air kecil di suatu wadah. Sepeninggalan H.Muhidin
datanglah seekor babi hutan mencari makan ke pemukiman dan meminum air dalam
wadah tersebut.
Babi
hutan itu merusak tanaman warga karena ingin mencari makan. Kemudian warga
mengejar dan mengeroyok babi hutan itu. Saat itu terjadi pertempuran sengit
antara warga dan babi hutan, karena babi hutan memberikan perlawanan. Babi
hutan itu berlari secepat mungkin dengan empat kakinya menyelamatkan diri dari
kepungan warga, sedangkan para warga berusaha mencari babi. Saat sedang
mengejar babi hutan, warga mendengar suara tangisan bayi dari semak-semak.
Warga heran bayi siapa yang ditinggal di tempat itu. Para warga pun
berinisiatif untuk mencari bayi tersebut. Saat warga membuka semak-semak,
mencari bayi yang menangis, larilah seekor babi hutan dan berhasil melarikan
diri. Namun warga merasa kebingungan pada bayi perempuan yang ada dalam
semak-semak di hutan.
Bayi
perempuan itu dibawa oleh seorang warga dan diserahkan pada seorang tokoh
masyarakat terpercaya yaitu H.Muhidin, saat itu H.Muhidin pun merasa heran bayi
siapa itu, dan seorang warga langsung menceritakan padanya bagaimana mereka
menemukan bayi itu. Bayi itu kemudian dirawat. Kemudian H.Muhidin memiliki
inisiatif untuk mengundang para warga ke masjid dan membawa makanan seadanya.
Saat itu bayi perempuan itu dibawa ke masjid dan dibiarkan berada di
tengah-tengah, sementara para warga duduk melingkar mengelilingi bayi itu. Bayi
perempuan itu kemudian dibiarkan untuk memilih makana yang dibawa masyarakat,
bila bayi tersebut mengambil makanan dari salah satu warga, maka orang tersebut
adalah orang tuanya.
Bayi
perempuan itu berkeliling menghampiri warga dan memilih makanan dan
memuntahkannya. Namun saat makan makanan dari H.Muhidin, ia tidak
memuntahkannya. Ia memakan sampai habis. Semua warga yang datang tampak heran.
Akhirnya bayi perempuan itu dirawat dan dibesarkan oleh H.Muhidin. Bayi
perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang cantik yang diberi nama Nyi Artati oleh
H.Muhidin.
Seiring
dengan tumbuhnya Nyi Artati menjadi seorang gadis yang cantik, tumbuh pula
sebuah jamur yang ada di bawah masjid tepat di bawah tempat imam. Semakin Nyi
Artati terus bertumbuh, jamur di tempat imam itu pun terus bertumbuh dan
semakin besar. Jamur itu membuat masjid itu kehilangan keseimbanan dan miring.
Tak ada yang mampu mencabur jamur itu meski semua orang kuat dikerahkan dan
suma alat digunakan. Jamur itu tetap tidak berhasil dicabut.
Sampai
pada akhirnya, Nyi Artati bersedia untuk mencabut jamur tersebut, dan
memberikan syarat kepada warga untuk mmebuatkan sebuah perahu. Meski pun dibuat
heran oleh keinginan gadis itu, warga tetap saja mengikuti persyaratan dari Nyi
Artati tersebut dan membuatkan sebuah perahu. Nyi Artati itu mencabut jamurnya
dan berhasil. Setelah mencabut jamur tersebut, gadis itu duduk di atas perahu
yang dibuatkan warga. Masjid kembali seimbang setelah jamur itu dicabut. Namun,
air perlahan-lahan keluar dari bekas jamur dicabut tadi. Air itu tidak bisa
dihentikan dan akhirnya tempat pemukiman yang didirikan H.Muhidin itu
tenggelam. Hanya Nyi Artati, seorang gadis yang mencabut jamur dan seekor
anjing peliharaan H.Muhidin yang sangat disayangi gadis tersebut yang ada di
atas perahu dan selamat. Konon, buaya-buaya yang terdapat di dalam danau
tersebut adalah jelmaan dari warga-warga yang tenggelam.
Legenda Curug Betung
Air
Terjun Curug Betung Yang terletak di Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang. Legenda
Curug Betung mirip dengan legenda Tangkuban Perahu. Namun legenda Sangkuriang
versi Banten ini merupakan kelanjutan dari Legenda Rawa Danau Padarincang.
Pada
zaman dahulu, ada seorang gadis cantik bernama Nyi Artati. Suatu ketika saat Nyi Artati sedang menenun di
rumahnya yang berbentuk panggung, tiba-tiba alat tenunnya jatuh. Nyi Artati
malas mengambilnya. Ia lalu berikrar bahwa siapa pun yang mengambilkan alat
tenun itu akan dijadikan sebagai suaminya. Ternyata si Tumang, seekor anjing, yang
melakukan itu. Dengan berat hati Nyi Hartati menjadikan Tumang sebagai suami.
Lalu lahir Sangkuriang.
Ketika kecil, karena tak dapat
memenuhi keinginan sang ibu yang sangat ingin makan daging rusa, Sangkuriang
membunuh si Tumang, anjingnya. Daging si Tumang ia berikan pada si ibu. Si ibu
marah ketika tahu daging itu daging si Tumang. Maka ketika tahu Sangkuriang
telah membunuh ayahnya, Nyi Hartati sangat marah. Dipukulnya kepala Sangkuriang
dengan kayu hingga luka berdarah, lalu diusirnya Sangkuriang.
Sangkuriang menjadi pemuda tampan. Ia kemudian bertemu kembali
dengan sang ibu yang tetap muda. Keduanya saling jatuh cinta. Ketika sedang
mencari kutu di kepala Sangkuriang, Nyi Artati menemukan bekas luka di kepala
pemuda itu. Ia menanyakan penyebab luka itu pada Sangkuriang. Sangkuriang pun
bercerita kalau luka itu akibat dipukul ibunya waktu kecil. Seketika Nyi Artati
tahu kalau Sangkuriang adalah anaknya yang ia usir dulu. Ia memberitahukan hal
itu pada Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak percaya karena Nyi Artati yang
menurutnya masih seusianya. Ia memaksa Nyi Artati untuk mau menjadi istrinya.
Nyi Hartati akhirnya mau kalau Sangkuriang dapat membuat bendungan sepanjang
tepi sungai yang menuju Curug Betung dalam semalam. Bendungan itu harus selesai
sebelum ayam jantan berkokok. Berkat kesaktiannya, Sangkuriang hampir dapat
melakukan tugas itu. Nyi Artati menggagalkannya dengan membuat para ayam jantan
berkokok sebelum waktunya (versi lain mengatakan bahwa Nyi Artati membentangkan
selendang merahnya, mengelabui Sangkuriang supaya Sangkuriang mengira sudah
pagi). Sangkuriang yang tahu kalau itu ulah Nyi Hartati mengejarnya.
Menghindari Sangkuriang yang mengejarnya, akhirnya Nyi Hartati masuk ke alam
gaib.
Konon,
hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat sekelebat bayangan Nyi Artati
dengan selendang merahnya lewat sekejap mata, saat datang ke Curug Betung.
Sekian :) <3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar