Jumat, 28 Oktober 2016

Corat-Coret Curhatan Debat Bahasa 2016 se-JABODETABEK



UNTIRTA? (Sambil mengerutkan dahi, otak berpikir keras, di mana tuh?)
Sebagian besar orang di luar Banten akan bereaksi begitu kalau dengar UNTIRTA. Padahal, UNTIRTA cukup terkenal di daerah Banten, kecuali Tangerang (ngga semua daerah Tangerang tau UNTIRTA). Tapi universitas Banten ini mengirimkan dua timnya untuk mengikuti Lomba Debat Bahasa Antar-Mahasiswa 2016 se-JABODETABEK di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Letak kampus ini berada di Serang, secara geografis kampus ini sangat dipertanyakan kenapa bisa ikut lomba se-Jabodetabek. Nyatanya, universitas ini mendapat undangan dari badan Bahasa untuk ikut lomba.
Awalnya saya heran kenapa teman saya pilih saya untuk jadi rekan se-timnya. Saya ngga punya pengalaman di bidang debat sama sekali. Saya memang termasuk orang yang banyak bicara, tapi debat bukan cuma soal bicara, tapi bagaimana kita berargumen dan merangkai pikiran kita dengan rapi lalu mengeluarkannya melalui bahasa lisan. Karena saya ngga punya pilihan lain, saya ikuti aja maunya teman saya ini. Kalau saya ngga ikut, teman saya ini terancam ngga bisa ikut juga. Akhirnya saya pilih ikut (dengan terpaksa).
Sistem debat ini pakai sistem debat parlemen Inggris. Satu kali babak terdiri dari empat tim, yang terdiri dari dua tim afirmasi (Afirmasi pembuka dan penutup) dan dua tim negasi (negasi pembuka dan negasi penutup). Satu tim hanya terdiri atas dua orang, pembicara 1 dan pembicara 2. Caranya, pembicara satu  dari tim afirmasi pembuka akan mulai menyampaikan argumennya tentang sebuah topik, dilanjutkan dengan pembicara 1 dari tim negasi pembuka, lalu pembicara 2 dari tim afirmasi pembuka melanjutkan argumen, kemudian dilanjutkan pembicara 2 dari tim negasi pembuka. Setelah tim pembuka selesai memberikan pendapat, tim penutup mulai memberikan pendapat mereka (dengan cara yang sama seperti tim pembuka).
Tiap pembicara diberikan waktu minimal enam menit dan maksimal tujuh menit tiga puluh detik untuk memberikan pendapatnya di depan. Pada saat menyampaikan pendapatnya, pembicara lain dari tim yan berlawanan boleh memberikan poin informasi. Pembicara boleh menerima dan menolak poin informasi yang diberikan. Jika tidak diberikan, pembicara yang mengajukan poin informasi harus menunggu sepuluh detik untuk boleh memberikan poin informasi kembali. Setelah diberikan, pembicara hanya boleh memberikan poin informasi selama lima belas detik.
Saya masih bingung banget dengan sistem debat yang seperti ini awalnya. Jangan kan yang begini, yang model debat biasa aja yang ngga tau dan ngga pernah ikut. Jadi kenapa harus saya? Saya sering banget tanya itu dalam hati. Saya termasuk orang yang demam panggung, gugupan, mental saya ngga sekuat mereka yang sudah sering bicara di depan banyak orang. Tapi akhirnya saya tetap ikut lomba ini. Saya berpikiran positif aja, meskipun judulnya debat, bukan berarti kita mau cari lawan, tapi kita bisa cari kawan. Yah, semacam itu lah.
Hari pertama babak penyisihan 1 saya super deg-degan. Meskipun sudah berdoa supaya Tuhan sertai dan berikan kekuatan dan keberanian saya tetap aja deg-degan. Jantung rasanya mau loncat keluar sampai dada rasanya panas seperti ditusuk. Tapi ternyata, saya dan Rina (Untirta II), atas berkat Tuhan, berada di peringkat dua. Kami dapat dua poin. Di babak penyisihan ke-2, kami berada di peringkat 3 dan mendapat 1 poin. Dari awal saya memang ngga berambisi untuk ikut lomba ini. Saya ikut, supaya teman saya bisa ikut. Tapi tetap aja, saya tetap berdoa pada Tuhan supaya tetap menyertai selama debat, supaya Tuhan yang berbicara melalui lidah saya dan hanya mengatakan kata-kata yang baik dan benar. Meskipun ikut lomba ini bukan kemauan saya, tapi saya tetap harus bisa menjaga nama kampus. Seenggaknya dengan ikut lomba ini, ya UNTIRTA jadi dikenallah…
Hari kedua babak penyisihan ke-3 dan ke-4 adalah babak hening, artinya juri ngga ngasih tau tuh kita ada di peringkat ke berapa dan evaluasi untuk tiap tim ngga diberikan, tapi akhirnya saya tau, saya dan Rina ada di peringkat pertama di babak ke-3 (puji Tuhan banget), dan peringkat ke-4 di babak ke-4. Setelah semua babak selesai dilaksanakan, semua tim dari semua universitas naik ke aula untuk melihat pengumuman delapan besar tim yang berhasil masuk babak semifinal.
Nama-nama universitas dan tim muncul satu persatu di layar putih diiringi tepuk tangan. Dan akhirnya…jeng-jeng UNTIRTA II masuk ke delapan besar tim yang masuk semifinal! Saya kaget, saya langsung liat Rina. Orang-orang di dekat saya langsung melihat ke arah saya dan Rina. Mata Rina udah berkaca-kaca banget. Saya masih bingung, tapi tiba-tiba ingat perkataan Rina. Dia pernah bilang waktu saya psimis banget di awal-awal datang ke tempat itu, begini: Sa, ini tuh kaya pertarungan antara Daud dan Goliat. Kita, kampus kecil dan biasa aja melawan kampus besar kaya mereka. Nggak ada yang nggak mungkin, Sa.
Ok, Rin, tapi saya masih belum siap untuk tanding lagi dengan mereka di babak semifinal. Ada sedikit masalah sesaat sebelum kita meninggalkan tempat. Juri yang menilai di babak penyisihan pertama salah mengumumkan peringkat pertama dan kedua. Saya sedikit bingung, dan sebenarnya merasa bersalah. Saya ingat saya berada di peringkat kedua di babak penyisihan pertama, dan tim dari kampus lain yang berada di peringkat pertama. Tapi rupanya juri itu salah bicara, rupanya saya dan Rina yang mendapat peringkat satu, yang akhirnya membuat kami masuk semifinal. Saya merasa bersalah tapi tim lain itu meski sedikit kecewa dengan kesalahan juri akhirnya bisa menerima keadaan saat itu dengan hati yang tulus. (He said that we’re (Untirta II) great, but I and everyones else know the truth that u guys are the greatest).
Malamnya saya berdoa, bersyukur sudah diberi kesempatan dari Tuhan untuk bisa berhadapan dengan kampus-kampus besar itu, minta kekuatan juga untuk terus berani menghadapi mereka karena Tuhan sudah tolong sampai sejauh ini.  
Di babak semifinal saya dan Rina tetap berdebat semampu kami, sebisa kami, dengan seluruh kekuatan kami dan yang pasti dengan berserah pada Tuhan untuk hasilnya. Akhirnya, perjalanan kami harus berhenti di semifinal, delapan besar. Kami ngga masuk final, tapi saya SANGAT SANGAT BERSYUKUR untuk beberapa hal.
Di semifinal, UNTIRTA II mendapat bagian sebagai afirmasi pembuka. Pada saat saya, pembicara 1, berpidato, saya mulai kehabisan bahan, padahal waktu saya masih banyak. Salah satu pembicara dari kampus paling ‘KAKAP’ memberikan poin informasi. Saya ngga tau keberanian darimana yang saya dapat, sampai saya terima begitu aja poin informasi dari dia. Padahal sebelumnya saya ngga pernah berani terima PI dari dia. Tapi Tuhan tolong saya saat itu, saya tiba-tiba teringat satu hal yang sangat membantu saya, kemudian saya jawab PI dari pembicara itu. Saya memang ngga menjelaskan seperti yang dia mau tapi saya kasih contoh yang menjawab pertanyaan dari dia, dan dia kelihatannya terima-terima aja. Saat tiba giliran pembicara itu maju dan berpendapat, saya sudah yakin dalam hati saya dia pasti akan membantah seluruh argumen saya secara pribadi, tapi ternyata NGGAK! Dia memang membantah, tapi secara umum, ngga secara pribadi mengarah ke saya. Di situ saya bersyukur lagi, saya bilang: Terimakasih Tuhan, bantahan dan sanggahan dia ngga mengarah ke saya langsung. Saya masih dilindungi dan ngga dipermalukan. THANK GOD!
Siangnya saya nonton final debat itu dengan teman-teman lain yang tidak bisa masuk final. Mereka teman-teman baru saya. Saya seneng banget bisa ketemu mereka di tempat yang seharusnya kita bersaing. Mereka baik, ramah, agak berisik tapi kami bisa bersatu berbaur dan bercanda seolah kita sudah kenal lama. Mereka kawan-kawan dari Budi Luhur, Multimedia Nusantara, Univ.Negeri Jakarta, UKI, UIN, UHAMKA, dll. Hope we’ll meet again guys in another chance. Terimakasih untuk pengalaman menarik memainkan ‘three seconds game’ yang tiba-tiba bikin berisik ruangan dan semua mata mengarah pada kita. God bless you guys. Love you :*










~ 4-6 & 11-13 Oktober 2016~

Kamis, 11 Agustus 2016

Cerita Rakyat Banten

Di postingan sebelumnya, saya tulis tentang perjalanan kelompok mencari cerita rakyat lisan di Banten. Nah, kali ini saya posting dan share cerita yang kami dapat dari hasil penelitian.




Asal Mula Ci Bulakan

            Pada zaman dahulu pada masa kesultanan banten pada saat sultan maulana hasanudin banten berkuasa, beliau memiliki seorang putra yang bernama syeh mansur, syeh masyur adalah seorang pemuda yang cerdas yang ingin menyempurnakan ilmunya dengan pergi ke Mekah. Pada saat itu Syeh Mansur masih sangat muda, usianya baru menginjak 18 tahun. Karena umurnya yang masih muda itu, Sultan Maulana Hasanudin tidak mengizinkan Syeh Mansur pergi ke Mekah untuk menyempurnakan ilmunya. Karena larangan orang tuanya itu, Syeh Mansur tetap memaksa untuk pergi. Ia pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia memanfaatkan ilmunya dan memulai perjalanan dari kesultanan Banten. Secara ajaib ia bisa berjalan di dalam tanah.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan lama di dalam tanah, Syeh Mansur merasa bahwa dirinya sudah sampai di Mekah. Ia pun keluar dari dalam tanah, dan sampai di tempat yang sejuk dan ditumbuhi banyak pohon. Ia percaya bahwa sudah sampai di tempat tujuannya, Mekah. Karena tujuannya untuk menyempurnakan ilmunya, Syeh Mansur beribadah di tempat itu, sholat dan mengaji. Di tengah-tengah kegiatannya menyempurnakan ilmunya itu, ia mendengar suara ayam berkokok. Ia mulai curiga, bahwa tempat itu bukanlah Mekah. Ia merasa ia masih di tanah kelahirannya. Maka ia berinisiatif untuk meninggalkan tempat itu. Ia belum menyerah untuk dapat sampai di Mekah. Ia pun melanjutkan perjalanannya dengan menempuh jalur tanah seperti sebelumnya. Sepeninggal Syeh Mansur, keluarlah air dari tempat ia keluar dari tanah saat pertama kali tiba.
Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh di dalam tanah, Syeh Mansur keluar dari tanah dan tibalah di tempat yang terdapat bebatuan, beliau berpikir sudah sampai di Mekah. Seperti niatnya sebelumnya beliau beribadah, dengan mengaji di atas batu itu, dan menulis huruf arab di atas batu itu (konon katanya hal itu hanya bisa di baca oleh orang-orang tertentu). Kemudian, Syeh Mansur mendengar suara lesung, ia berpikir bahwa ia tempat itu bukan Mekah. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan dari dalam tanah. Syeh Mansur tiba di Cikaduen, ia berpikir bahwa kali ini ia sudah sampai di Mekah. Ia kembali beribadah. Namun ternyata ia sadar, temat itu bukan Mekah. Syeh Mansur lelah, ia sudah melakukan perjalanan yang lama dan jauh namun belum juga tiba di Mekah. Ia akhirnya kembali ke Kesultanan Banten dengan berjalan kaki.
Tempat pertama yang disinggahi Syeh Mansur, yang semula ia kira adalah Mekah, mengeluarkan air dari lubang tanah Syeh Mansur. Tempat itu dinamakan Ci Bulakan yang berlokasi di Kp. Kubang Landeuh RT 017 RW 005 Desa Sukarena Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang Provinsi Banten. Batu dengan tulisan arab yang ditulis oleh Syeh Mansur itu sekarang dikenal sebagai Batu Quran, yang terletak di di Desa Cibulakan Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Banyak peziarah yang datang Batu Quran dalam rangka wisata religi. Tempat terakhir yang didatangi Syeh Mansur kini bernama Cikaduen, yang merupakan sebuah desa di Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, yang juga menjadi tempat dimakamkannya Syeh Mansur.
Berikut fotonya:




Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi I)

            Objek wisata alam Cibanten (dulunya merupakan wahana wisata alam pemandian) berada di desa Suka Bares. Kec.Ciomas, Kab. Serang-Banten.  Selain menjadi tempat objek wisata pemandian, sumber air berwarna biru ini memiliki banyak sejarah dan menjadi keramat leluhur bagi masyarakat sekitarnya. Sejak zaman kerajaan sultan Banten, Cibanten memang sudah ada. Cibanten dulu dikenal dengan sumur. Tepatnya dikenal dari ke tujuh nama sumur di sekitar wilayah Gunung Karang (Ciomas dan Pandeglang) atau sumur tujuh (7). Cibanten merupakan sumber air yang paling utama atau terdekat di sekitar lingkungan masyarakat (Pabuaran dan Ciomas). Air sungai dari Cibanten mengalir sampai ke Banten Lama (Karangantu) dan air sungai ini pun akhirnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pertanian.
Cibanten memiliki banyak sejarah misteri pada zaman sebelum kesultanan, tepatnya pada zaman Sangkuriang, ada seseorang yang di kenal dengan nama Nyi Mas Gamparan (Waliulloh). Pada saat ini, masyarakat percaya sumber tujuh sumur itu dibuat oleh Nyi Mas Gamparan, yang ceritanya dikabarkan oleh narasumber dari seorang tokoh masyarakat atau juru kunci Cibanten, H.Darwis. Pada zaman dahulu kala, Nyi Mas Gamparan mencari air untuk pengobatan seorang sahabatnya, kemudian ia mencari air tersebut. Air tersebut diberi oleh seseorang yang berilmu tinggi dan dipercayai orang itu adalah para wali.  Setelah bertemu dan diberi air itu, oleh seseorang kakek, air itu diberi dan ditumpahkan pada tampahan kedua tangannya Nyi Mas Gamparan.  Ketika Nyi Mas Gamparan Membawa air itu, tumpahlah setetes demi setetes ke permukaan dan dari tumpahan air itu pula jadilah sebuah sumur. Tujuh sumur tersebut yaitu Cibanten, Cigewok, Talaga, Cirampones, Ciwasiat, Curug Nangka, dan terakhir Sumur Tujuh (puncak Gunung Karang).
Ketujuh sumur ini tepatnya berada di wilayah yang berdekatan dengan Gunung Karang Ciomas - Pandeglang. Di masa kesultanan Banten, saat kerajaan Cirebon, Syarif Hidayatulloh, pada saat itu Cirebon sedang mengalami peperangan dengan kerajaan Majapahit. Suatu ketika sultan Cirebon (Syarif Hidayatulloh) berpikir untuk membuat senjata ketika akan berperang melawan kerajaan Majapahit.  Pada saat itulah sultan Cirebon memilih untuk membuat senjata itu di kerajaan Banten.
            Setelah gambar senjata tersebut  yang sudah dibuat oleh sultan Cirebon sudah jadi,  sultan bergegas menyuruh seorang pengawalnya untuk mengirimkan gambar senjata tersebut ke Banten dan memberikan suatu amanah agar dapat menyampaikan pesan ini kepada Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya tepatnya di desa Ciomas.  Setelah seorang pengawalnya  sampai kepada Empu dan menyerahkan gambar senjata dan menyampaikan amanat tersebut, berkatalah seorang Empu Sekh Sepuh /Wali Jaya kepada seorang pengawal sultan agar ia bisa mengambil kembali senjata itu selama tujuh hari tujuh malam. Bergegaslah seorang pengawal sultan Cirebon itu kembali ke kerajaannya Cirebon.
            Di hari terakhir pembuatan senjata itu Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya mencuci senjata itu ke tujuh sumur termasuk sumur Cibanten yang pertama dan terakhir di puncak Gunung Karang (sumur tujuh) senjata itu yang dimaksud dengan golok Ciomas. Cerita ini dikabarkan oleh seorang narasumber cucu dari empu yang berasal dari ciomas (Ustadz Uming-gunung sumbul).
Dari zaman ke zaman, sumur Cibanten terus mengeluarkan air yang akhirnya menjadi sumber air yang tampak seperti kolam. Tempat ini kemudian dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar Cibanten. Akhirnya tempat ini menjadi sumber kehidupan sehari–hari bagi masyarakatnya. Tempat ini konon dipercaya masyarakat sebagai tempat peninggalan keramat dan airnya pun berkhasiat untuk pengobatan. Tidak hanya itu, tempat ini setiap harinya digunakan warga penduduk sekitar untuk mandi dan banyak juga pengunjung yang datang dari penjuru luar daerah untuk berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser Negara. Konon makam tersebut adalah sosok seseorang yang bertapa untuk berilmu dan menjaga sumur ini, dan pada akhirnya meninggal ditempat itu. Kemudian masyarakat berinisiatif untuk menjadikan tempat ini sebagai objek kunjungan atau wisata. Akhhirnya sumber objek wisata ini diresmikan oleh pemerintah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Tempat ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai daerah pada tahun 1978.  Para pengunjung yang berdatangan ke tempat ini hanya melakukan pemandian/berenang dan ada pula yang berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser Negara. Pengunjung yang terhitung kunjungannya ke tempat ini mencapai 150 s/d 230 orang perbulannya.
Namun setiap 2 tahun sekali tepatnya pada tahun 2001 s/d 2007 pengunjung yang berenang ke tempat ini selalu menjadi korban  yang tenggelam di tempat ini. Seorang sumber yang memberikan informasi mengujarkan “Adanya korban tersebut karena sering berkunjung dan melakukan maksiat di tempat ini. Oleh karena itu penjaga gaib di tempat ini tidak merasa senang jika kedatangan tamu ke tempat ini berbuat hal yang tidak lazim” begitulah ujarnya.
Setelah para pengunjung dari luar daerah tahu tempat ini begitu berbahaya sehingga memakan korban akhirnya kedatangan pengunjung pun menurun drastis pada tahun 2007 sampai 2011. Sampai–sampai satu minggu pun pengunjung yang datang ke tempat itu terhitung cukup sedikit, maksimal 15 sampai 20 orang saja, dan itu pun sangat jarang. Pada saat itu pula objek wisata ini pun tidak begitu terawat kebersihannya dan pemerintah setempat kurang memperhatikan lagi tempat objek wisata ini.
Tahun 2011, tepatnya pada pertengahan tahun, tempat ini mulai diperhatikan kembali oleh segenap forum aktivis dari kepemudaan (pencinta alam), pada saat itu mulai dibersihkan lumut-lumut air dan sampah-sampah dari tempat ini. Pada saat kegiatan bakti sosial itu, masyarakat akhirnya bisa tergugahkan hatinya, dan mulai bisa untuk menjaga cagar budaya objek wisata alam ini kembali sampai tahun sekarang. Pada tahun 2013 pengunjung yang biasanya berkunjung ke tempat ini semula hanya untuk berenang akhirnya sekarang melakukan aktivitas kegiatan memancing. Sampai sekarang kegiatan pengunjung lebih banyak memancing setiap harinya. Pengunjung yang berdatangan ke tempat ini lebih banyak dibanding pada tahun 2011 dan 2013, yang mencapai 30 sampai 40 perharinya.
Ada sebuah mitos di Cibanten.  Ada sesosok ikan besar di Cibanten, setiap harinya ikan itu masih bisa dilihat, namun setiap Cibanten dikeringkan oleh seorang pawang air (H.Darwis) yang menutup sumber pintu air Cibanten ini, ikan itu sama sekali tidak nampak keberadaannya, walaupun masyarakat sekitar mencari ikan ini sampai ke semak-semak yang sama sekali tak terlihat tapi sama sekali tidak ditemukan. Konon ikan ini dipercaya masyarakat bisa membawa rezeki atau keberhasilan bagi orang yang percaya bisa melihatnya saja. Ketinggian dan kedalaman volume sungai ini berkisar5-6 meter dari permukaan dasar tanah, tapi di dasar sampingnya kedalaman sungai ini hanya 1 sampai 2 meter saja.




Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi II)

Cibanten adalah salah satu sumber air yang berada di Kampung Masigit, Desa Sukabares Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten. Asal mula diberi nama Cibanten dikarenakan pada masa kesultanan Banten, sangat sulit mencari sumber air yang dapat mengairi sebagian besar daerah Banten, hingga akhirnya ditemukanlah sumber air ini yang kemudian diberi nama Cibanten. Cibanten dilestarikan oleh pemerintah, dirawat dan dilindungi oleh perhutani. Alirannya sampai ke kali Banten dan mayoritas digunakan oleh penduduk pada masa kesultanan Banten dan hingga kini masih digunakan.
Air ini digunakan untuk keperluan pengairan lahan pertanian dan untuk dikonsumsi masyarakat dan kesultanan banten. Airnya tidak pernah surut sepanjang tahun meskipun pada musim kemarau. Masyarakat Ciomas memanfaatkan Cibanten untuk keperluan sehari-hari untuk ketika musim kemarau. Aliran air Cibanten tidak boleh digunakan untuk keperluan industri, lantaran masyarakat mempercayai jika digunakan akan mendatangkan musibah karena Cibanten merupakan situ (danau) keramat. Air di Cibanten mengandung kadar besi dan berwarna biru kehijau-hijauan dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
Konon, Cibanten merupakan situ keramat. Sumber air Cibanten ini berasal dari potongan pohon yang ditebang pada saat penjajahan Belanda. Air yang berasal dari Cibanten ini berwarna biru kehijau-hijauan dan dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Banyak orang yang berasal dari luar Ciomas bahkan luar Banten hanya untuk mengambil airnya dan dimanfaatkan untuk menyebuhkan penyakit yang diderita. Menurut salah satu warga di sekitar Cibanten bahwa ketika malam Jumat banyak orang yang berdatangan untuk berendam di air tersebut karena agar penyakit yang dideritanya dapat sembuh. Suatu ketika ada seorang pengunjung yang datang ke Cibanten untuk mengambil air menggunakan sebuah galon. Ketika galon sudah dipenuhi oleh air, tetapi galon tersebut tidak dapat diangkat. Menurut warga setempat jika ada seseorang yang berbuat maksiat atau mempunyai niat yang tidak baik maka akan terjadi sesuatu dengan dirinya. Konon, penunggu Cibanten tidak senang dengan seseorang yang berbuat tidak baik.
            Pengunjung yang pertama kali melihat Cibanten akan melihat pemandangan yang berbeda-beda. Ada yang melihat bahwa di potongan kayu tersebut ada seseorang yang sedang bertapa, air yang membelah seperti jalan raya, kerajaan dan adapula yang melihat hantu. Semua itu tergantung hati dan niat pengunjung. Apakah hati dan niat pengunjung itu baik atau tidak.


Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi III)

Di Banten, tepatnya di Kecamatan Ciomas terdapat sebuah sumber air yang terbentuk seperti kolam. Airnya berwarna biru kehijau-hijauan. Pada zaman dahulu, Sultan Maulana Hasanudin sedang melakukan perjalanan panjang ke Gunung Manjeti, yang sekarang biasa disebut Kecamatan Ciomas. Tepat waktu dzuhur sultan akan melakukan ibadah shalat dzuhur, tapi tidak ada air di lahan seluas 7 Hektar tersebut, akhirnya sultan mengucapkan lafadz Basmalah dengan izin Allah keluarlah air dari dalam tanah tersebut, sultan akhirnya membersihkan diri dengan cara berwudhu dan dilanjutkan dengan solat dzuhur lalu melanjutkan perjalanan ke Gunung Manjeti. Akan tetapi air yang tadi keluar dari tanah terus menerus keluar sehingga menjadi sumber air untuk masyarakat. Menjadi sebuah kolam yang diurus masyarakat sampai sekarang.
Banyak sekali hal-hal yang mistis yang dipercayai masyarakat sekitar dan orang-orang luar sekali pun, menurut sesepuh yang ada di aderah Ci Banten ini, ada seorang pria yang setiap malam selalu memancing di kolam Cibanten tersebut, dan malam itu beliau menemukan kejanggalan yang terdapat di dalam air tersebut, kail pancing yang dia lemparkan tidak kunjung tenggelam dalam air, pancing itu selalu terpental seperti di lemparkan ke atas permukaan air es yang membeku, maka orang itu berinisiatif untuk turun kedalam air, dan benar saja ternyata air tersebut memang membeku untuk beberapa saat. Sungguh hal itu di luar logika manusia kenapa air tersebut bisa membeku beberapa saat, dan setelah kejadian itu diceritakan orang itu mendapatkan kekuatan yang tak bisa dilukai oleh benda tajam.
Namun, sebelum kejadian air kolam Cibanten membeku menjadi air es untuk beberapa saat pernah terjadi, ada kejanggalan lain yang ditemukan oleh pemancing tersebut. Saat orang itu memancing tengah malam dia melihat ada ikan yang luar biasa besar yang sedang berenang dan diikuti oleh ikan-ikan kecil, tapi tidak ada ikan yang mau memakan umpan dari pancing pria tersebut.


Legenda Rawa Danau Padarincang

Rawa Danau Padarincang, terletak di Kecamatan Padarincang, berbatasan dengan Kecamatan Cinangka. Danau Padarincang tekenal sebagai danau tertinggi Asia. Cerita di balik Rawa Danau itu yaitu sebagai berikut:
Dahulu, daerah rawa danau adalah hutan atau perkebunan yang sangat hijau dan subur. Datanglah seorang yang sangat paham dan ahli mengenai agam dari Mekah yaitu H.Muhidin. H.Muhidin berkeinginan membangun kota Mekah kedua di daerah tersebut, membangun masjid, pesantren dan mengembangkan Islam yang lebih kuat di tempat itu. Suatu hari pada saat pembangunan masjid yang didirikan H.Muhidin dengan para santri dan warga, H. Muhidin ingin buang air kecil, lalu keluar dari masjid dan buang air kecil di suatu wadah. Sepeninggalan H.Muhidin datanglah seekor babi hutan mencari makan ke pemukiman dan meminum air dalam wadah tersebut.
Babi hutan itu merusak tanaman warga karena ingin mencari makan. Kemudian warga mengejar dan mengeroyok babi hutan itu. Saat itu terjadi pertempuran sengit antara warga dan babi hutan, karena babi hutan memberikan perlawanan. Babi hutan itu berlari secepat mungkin dengan empat kakinya menyelamatkan diri dari kepungan warga, sedangkan para warga berusaha mencari babi. Saat sedang mengejar babi hutan, warga mendengar suara tangisan bayi dari semak-semak. Warga heran bayi siapa yang ditinggal di tempat itu. Para warga pun berinisiatif untuk mencari bayi tersebut. Saat warga membuka semak-semak, mencari bayi yang menangis, larilah seekor babi hutan dan berhasil melarikan diri. Namun warga merasa kebingungan pada bayi perempuan yang ada dalam semak-semak di hutan.
Bayi perempuan itu dibawa oleh seorang warga dan diserahkan pada seorang tokoh masyarakat terpercaya yaitu H.Muhidin, saat itu H.Muhidin pun merasa heran bayi siapa itu, dan seorang warga langsung menceritakan padanya bagaimana mereka menemukan bayi itu. Bayi itu kemudian dirawat. Kemudian H.Muhidin memiliki inisiatif untuk mengundang para warga ke masjid dan membawa makanan seadanya. Saat itu bayi perempuan itu dibawa ke masjid dan dibiarkan berada di tengah-tengah, sementara para warga duduk melingkar mengelilingi bayi itu. Bayi perempuan itu kemudian dibiarkan untuk memilih makana yang dibawa masyarakat, bila bayi tersebut mengambil makanan dari salah satu warga, maka orang tersebut adalah orang tuanya.
Bayi perempuan itu berkeliling menghampiri warga dan memilih makanan dan memuntahkannya. Namun saat makan makanan dari H.Muhidin, ia tidak memuntahkannya. Ia memakan sampai habis. Semua warga yang datang tampak heran. Akhirnya bayi perempuan itu dirawat dan dibesarkan oleh H.Muhidin. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang cantik yang diberi nama Nyi Artati oleh H.Muhidin.
Seiring dengan tumbuhnya Nyi Artati menjadi seorang gadis yang cantik, tumbuh pula sebuah jamur yang ada di bawah masjid tepat di bawah tempat imam. Semakin Nyi Artati terus bertumbuh, jamur di tempat imam itu pun terus bertumbuh dan semakin besar. Jamur itu membuat masjid itu kehilangan keseimbanan dan miring. Tak ada yang mampu mencabur jamur itu meski semua orang kuat dikerahkan dan suma alat digunakan. Jamur itu tetap tidak berhasil dicabut.
Sampai pada akhirnya, Nyi Artati bersedia untuk mencabut jamur tersebut, dan memberikan syarat kepada warga untuk mmebuatkan sebuah perahu. Meski pun dibuat heran oleh keinginan gadis itu, warga tetap saja mengikuti persyaratan dari Nyi Artati tersebut dan membuatkan sebuah perahu. Nyi Artati itu mencabut jamurnya dan berhasil. Setelah mencabut jamur tersebut, gadis itu duduk di atas perahu yang dibuatkan warga. Masjid kembali seimbang setelah jamur itu dicabut. Namun, air perlahan-lahan keluar dari bekas jamur dicabut tadi. Air itu tidak bisa dihentikan dan akhirnya tempat pemukiman yang didirikan H.Muhidin itu tenggelam. Hanya Nyi Artati, seorang gadis yang mencabut jamur dan seekor anjing peliharaan H.Muhidin yang sangat disayangi gadis tersebut yang ada di atas perahu dan selamat. Konon, buaya-buaya yang terdapat di dalam danau tersebut adalah jelmaan dari warga-warga yang tenggelam.

  
Legenda Curug Betung

Air Terjun Curug Betung Yang terletak di Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang. Legenda Curug Betung mirip dengan legenda Tangkuban Perahu. Namun legenda Sangkuriang versi Banten ini merupakan kelanjutan dari Legenda Rawa Danau Padarincang.
Pada zaman dahulu, ada seorang gadis cantik bernama Nyi Artati. Suatu ketika saat Nyi Artati sedang menenun di rumahnya yang berbentuk panggung, tiba-tiba alat tenunnya jatuh. Nyi Artati malas mengambilnya. Ia lalu berikrar bahwa siapa pun yang mengambilkan alat tenun itu akan dijadikan sebagai suaminya. Ternyata si Tumang, seekor anjing, yang melakukan itu. Dengan berat hati Nyi Hartati menjadikan Tumang sebagai suami. Lalu lahir Sangkuriang.
Ketika kecil, karena tak dapat memenuhi keinginan sang ibu yang sangat ingin makan daging rusa, Sangkuriang membunuh si Tumang, anjingnya. Daging si Tumang ia berikan pada si ibu. Si ibu marah ketika tahu daging itu daging si Tumang. Maka ketika tahu Sangkuriang telah membunuh ayahnya, Nyi Hartati sangat marah. Dipukulnya kepala Sangkuriang dengan kayu hingga luka berdarah, lalu diusirnya Sangkuriang.
Sangkuriang menjadi pemuda tampan. Ia kemudian bertemu kembali dengan sang ibu yang tetap muda. Keduanya saling jatuh cinta. Ketika sedang mencari kutu di kepala Sangkuriang, Nyi Artati menemukan bekas luka di kepala pemuda itu. Ia menanyakan penyebab luka itu pada Sangkuriang. Sangkuriang pun bercerita kalau luka itu akibat dipukul ibunya waktu kecil. Seketika Nyi Artati tahu kalau Sangkuriang adalah anaknya yang ia usir dulu. Ia memberitahukan hal itu pada Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak percaya karena Nyi Artati yang menurutnya masih seusianya. Ia memaksa Nyi Artati untuk mau menjadi istrinya. Nyi Hartati akhirnya mau kalau Sangkuriang dapat membuat bendungan sepanjang tepi sungai yang menuju Curug Betung dalam semalam. Bendungan itu harus selesai sebelum ayam jantan berkokok. Berkat kesaktiannya, Sangkuriang hampir dapat melakukan tugas itu. Nyi Artati menggagalkannya dengan membuat para ayam jantan berkokok sebelum waktunya (versi lain mengatakan bahwa Nyi Artati membentangkan selendang merahnya, mengelabui Sangkuriang supaya Sangkuriang mengira sudah pagi). Sangkuriang yang tahu kalau itu ulah Nyi Hartati mengejarnya. Menghindari Sangkuriang yang mengejarnya, akhirnya Nyi Hartati masuk ke alam gaib.
Konon, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat sekelebat bayangan Nyi Artati dengan selendang merahnya lewat sekejap mata, saat datang ke Curug Betung.




Sekian :) <3 

Cerita Rakyat Banten

Di postingan sebelumnya, saya tulis tentang perjalanan kelompok mencari cerita rakyat lisan di Banten. Nah, kali ini saya posting dan share cerita yang kami dapat dari hasil penelitian.




Asal Mula Ci Bulakan

            Pada zaman dahulu pada masa kesultanan banten pada saat sultan maulana hasanudin banten berkuasa, beliau memiliki seorang putra yang bernama syeh mansur, syeh masyur adalah seorang pemuda yang cerdas yang ingin menyempurnakan ilmunya dengan pergi ke Mekah. Pada saat itu Syeh Mansur masih sangat muda, usianya baru menginjak 18 tahun. Karena umurnya yang masih muda itu, Sultan Maulana Hasanudin tidak mengizinkan Syeh Mansur pergi ke Mekah untuk menyempurnakan ilmunya. Karena larangan orang tuanya itu, Syeh Mansur tetap memaksa untuk pergi. Ia pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia memanfaatkan ilmunya dan memulai perjalanan dari kesultanan Banten. Secara ajaib ia bisa berjalan di dalam tanah.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan lama di dalam tanah, Syeh Mansur merasa bahwa dirinya sudah sampai di Mekah. Ia pun keluar dari dalam tanah, dan sampai di tempat yang sejuk dan ditumbuhi banyak pohon. Ia percaya bahwa sudah sampai di tempat tujuannya, Mekah. Karena tujuannya untuk menyempurnakan ilmunya, Syeh Mansur beribadah di tempat itu, sholat dan mengaji. Di tengah-tengah kegiatannya menyempurnakan ilmunya itu, ia mendengar suara ayam berkokok. Ia mulai curiga, bahwa tempat itu bukanlah Mekah. Ia merasa ia masih di tanah kelahirannya. Maka ia berinisiatif untuk meninggalkan tempat itu. Ia belum menyerah untuk dapat sampai di Mekah. Ia pun melanjutkan perjalanannya dengan menempuh jalur tanah seperti sebelumnya. Sepeninggal Syeh Mansur, keluarlah air dari tempat ia keluar dari tanah saat pertama kali tiba.
Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh di dalam tanah, Syeh Mansur keluar dari tanah dan tibalah di tempat yang terdapat bebatuan, beliau berpikir sudah sampai di Mekah. Seperti niatnya sebelumnya beliau beribadah, dengan mengaji di atas batu itu, dan menulis huruf arab di atas batu itu (konon katanya hal itu hanya bisa di baca oleh orang-orang tertentu). Kemudian, Syeh Mansur mendengar suara lesung, ia berpikir bahwa ia tempat itu bukan Mekah. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan dari dalam tanah. Syeh Mansur tiba di Cikaduen, ia berpikir bahwa kali ini ia sudah sampai di Mekah. Ia kembali beribadah. Namun ternyata ia sadar, temat itu bukan Mekah. Syeh Mansur lelah, ia sudah melakukan perjalanan yang lama dan jauh namun belum juga tiba di Mekah. Ia akhirnya kembali ke Kesultanan Banten dengan berjalan kaki.
Tempat pertama yang disinggahi Syeh Mansur, yang semula ia kira adalah Mekah, mengeluarkan air dari lubang tanah Syeh Mansur. Tempat itu dinamakan Ci Bulakan yang berlokasi di Kp. Kubang Landeuh RT 017 RW 005 Desa Sukarena Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang Provinsi Banten. Batu dengan tulisan arab yang ditulis oleh Syeh Mansur itu sekarang dikenal sebagai Batu Quran, yang terletak di di Desa Cibulakan Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Banyak peziarah yang datang Batu Quran dalam rangka wisata religi. Tempat terakhir yang didatangi Syeh Mansur kini bernama Cikaduen, yang merupakan sebuah desa di Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, yang juga menjadi tempat dimakamkannya Syeh Mansur.
Berikut fotonya:




Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi I)

            Objek wisata alam Cibanten (dulunya merupakan wahana wisata alam pemandian) berada di desa Suka Bares. Kec.Ciomas, Kab. Serang-Banten.  Selain menjadi tempat objek wisata pemandian, sumber air berwarna biru ini memiliki banyak sejarah dan menjadi keramat leluhur bagi masyarakat sekitarnya. Sejak zaman kerajaan sultan Banten, Cibanten memang sudah ada. Cibanten dulu dikenal dengan sumur. Tepatnya dikenal dari ke tujuh nama sumur di sekitar wilayah Gunung Karang (Ciomas dan Pandeglang) atau sumur tujuh (7). Cibanten merupakan sumber air yang paling utama atau terdekat di sekitar lingkungan masyarakat (Pabuaran dan Ciomas). Air sungai dari Cibanten mengalir sampai ke Banten Lama (Karangantu) dan air sungai ini pun akhirnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pertanian.
Cibanten memiliki banyak sejarah misteri pada zaman sebelum kesultanan, tepatnya pada zaman Sangkuriang, ada seseorang yang di kenal dengan nama Nyi Mas Gamparan (Waliulloh). Pada saat ini, masyarakat percaya sumber tujuh sumur itu dibuat oleh Nyi Mas Gamparan, yang ceritanya dikabarkan oleh narasumber dari seorang tokoh masyarakat atau juru kunci Cibanten, H.Darwis. Pada zaman dahulu kala, Nyi Mas Gamparan mencari air untuk pengobatan seorang sahabatnya, kemudian ia mencari air tersebut. Air tersebut diberi oleh seseorang yang berilmu tinggi dan dipercayai orang itu adalah para wali.  Setelah bertemu dan diberi air itu, oleh seseorang kakek, air itu diberi dan ditumpahkan pada tampahan kedua tangannya Nyi Mas Gamparan.  Ketika Nyi Mas Gamparan Membawa air itu, tumpahlah setetes demi setetes ke permukaan dan dari tumpahan air itu pula jadilah sebuah sumur. Tujuh sumur tersebut yaitu Cibanten, Cigewok, Talaga, Cirampones, Ciwasiat, Curug Nangka, dan terakhir Sumur Tujuh (puncak Gunung Karang).
Ketujuh sumur ini tepatnya berada di wilayah yang berdekatan dengan Gunung Karang Ciomas - Pandeglang. Di masa kesultanan Banten, saat kerajaan Cirebon, Syarif Hidayatulloh, pada saat itu Cirebon sedang mengalami peperangan dengan kerajaan Majapahit. Suatu ketika sultan Cirebon (Syarif Hidayatulloh) berpikir untuk membuat senjata ketika akan berperang melawan kerajaan Majapahit.  Pada saat itulah sultan Cirebon memilih untuk membuat senjata itu di kerajaan Banten.
            Setelah gambar senjata tersebut  yang sudah dibuat oleh sultan Cirebon sudah jadi,  sultan bergegas menyuruh seorang pengawalnya untuk mengirimkan gambar senjata tersebut ke Banten dan memberikan suatu amanah agar dapat menyampaikan pesan ini kepada Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya tepatnya di desa Ciomas.  Setelah seorang pengawalnya  sampai kepada Empu dan menyerahkan gambar senjata dan menyampaikan amanat tersebut, berkatalah seorang Empu Sekh Sepuh /Wali Jaya kepada seorang pengawal sultan agar ia bisa mengambil kembali senjata itu selama tujuh hari tujuh malam. Bergegaslah seorang pengawal sultan Cirebon itu kembali ke kerajaannya Cirebon.
            Di hari terakhir pembuatan senjata itu Empu Sekh Sepuh/Wali Jaya mencuci senjata itu ke tujuh sumur termasuk sumur Cibanten yang pertama dan terakhir di puncak Gunung Karang (sumur tujuh) senjata itu yang dimaksud dengan golok Ciomas. Cerita ini dikabarkan oleh seorang narasumber cucu dari empu yang berasal dari ciomas (Ustadz Uming-gunung sumbul).
Dari zaman ke zaman, sumur Cibanten terus mengeluarkan air yang akhirnya menjadi sumber air yang tampak seperti kolam. Tempat ini kemudian dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar Cibanten. Akhirnya tempat ini menjadi sumber kehidupan sehari–hari bagi masyarakatnya. Tempat ini konon dipercaya masyarakat sebagai tempat peninggalan keramat dan airnya pun berkhasiat untuk pengobatan. Tidak hanya itu, tempat ini setiap harinya digunakan warga penduduk sekitar untuk mandi dan banyak juga pengunjung yang datang dari penjuru luar daerah untuk berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser Negara. Konon makam tersebut adalah sosok seseorang yang bertapa untuk berilmu dan menjaga sumur ini, dan pada akhirnya meninggal ditempat itu. Kemudian masyarakat berinisiatif untuk menjadikan tempat ini sebagai objek kunjungan atau wisata. Akhhirnya sumber objek wisata ini diresmikan oleh pemerintah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Tempat ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai daerah pada tahun 1978.  Para pengunjung yang berdatangan ke tempat ini hanya melakukan pemandian/berenang dan ada pula yang berziarah ke makam keramat Kibuyut Puser Negara. Pengunjung yang terhitung kunjungannya ke tempat ini mencapai 150 s/d 230 orang perbulannya.
Namun setiap 2 tahun sekali tepatnya pada tahun 2001 s/d 2007 pengunjung yang berenang ke tempat ini selalu menjadi korban  yang tenggelam di tempat ini. Seorang sumber yang memberikan informasi mengujarkan “Adanya korban tersebut karena sering berkunjung dan melakukan maksiat di tempat ini. Oleh karena itu penjaga gaib di tempat ini tidak merasa senang jika kedatangan tamu ke tempat ini berbuat hal yang tidak lazim” begitulah ujarnya.
Setelah para pengunjung dari luar daerah tahu tempat ini begitu berbahaya sehingga memakan korban akhirnya kedatangan pengunjung pun menurun drastis pada tahun 2007 sampai 2011. Sampai–sampai satu minggu pun pengunjung yang datang ke tempat itu terhitung cukup sedikit, maksimal 15 sampai 20 orang saja, dan itu pun sangat jarang. Pada saat itu pula objek wisata ini pun tidak begitu terawat kebersihannya dan pemerintah setempat kurang memperhatikan lagi tempat objek wisata ini.
Tahun 2011, tepatnya pada pertengahan tahun, tempat ini mulai diperhatikan kembali oleh segenap forum aktivis dari kepemudaan (pencinta alam), pada saat itu mulai dibersihkan lumut-lumut air dan sampah-sampah dari tempat ini. Pada saat kegiatan bakti sosial itu, masyarakat akhirnya bisa tergugahkan hatinya, dan mulai bisa untuk menjaga cagar budaya objek wisata alam ini kembali sampai tahun sekarang. Pada tahun 2013 pengunjung yang biasanya berkunjung ke tempat ini semula hanya untuk berenang akhirnya sekarang melakukan aktivitas kegiatan memancing. Sampai sekarang kegiatan pengunjung lebih banyak memancing setiap harinya. Pengunjung yang berdatangan ke tempat ini lebih banyak dibanding pada tahun 2011 dan 2013, yang mencapai 30 sampai 40 perharinya.
Ada sebuah mitos di Cibanten.  Ada sesosok ikan besar di Cibanten, setiap harinya ikan itu masih bisa dilihat, namun setiap Cibanten dikeringkan oleh seorang pawang air (H.Darwis) yang menutup sumber pintu air Cibanten ini, ikan itu sama sekali tidak nampak keberadaannya, walaupun masyarakat sekitar mencari ikan ini sampai ke semak-semak yang sama sekali tak terlihat tapi sama sekali tidak ditemukan. Konon ikan ini dipercaya masyarakat bisa membawa rezeki atau keberhasilan bagi orang yang percaya bisa melihatnya saja. Ketinggian dan kedalaman volume sungai ini berkisar5-6 meter dari permukaan dasar tanah, tapi di dasar sampingnya kedalaman sungai ini hanya 1 sampai 2 meter saja.




Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi II)

Cibanten adalah salah satu sumber air yang berada di Kampung Masigit, Desa Sukabares Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten. Asal mula diberi nama Cibanten dikarenakan pada masa kesultanan Banten, sangat sulit mencari sumber air yang dapat mengairi sebagian besar daerah Banten, hingga akhirnya ditemukanlah sumber air ini yang kemudian diberi nama Cibanten. Cibanten dilestarikan oleh pemerintah, dirawat dan dilindungi oleh perhutani. Alirannya sampai ke kali Banten dan mayoritas digunakan oleh penduduk pada masa kesultanan Banten dan hingga kini masih digunakan.
Air ini digunakan untuk keperluan pengairan lahan pertanian dan untuk dikonsumsi masyarakat dan kesultanan banten. Airnya tidak pernah surut sepanjang tahun meskipun pada musim kemarau. Masyarakat Ciomas memanfaatkan Cibanten untuk keperluan sehari-hari untuk ketika musim kemarau. Aliran air Cibanten tidak boleh digunakan untuk keperluan industri, lantaran masyarakat mempercayai jika digunakan akan mendatangkan musibah karena Cibanten merupakan situ (danau) keramat. Air di Cibanten mengandung kadar besi dan berwarna biru kehijau-hijauan dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
Konon, Cibanten merupakan situ keramat. Sumber air Cibanten ini berasal dari potongan pohon yang ditebang pada saat penjajahan Belanda. Air yang berasal dari Cibanten ini berwarna biru kehijau-hijauan dan dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Banyak orang yang berasal dari luar Ciomas bahkan luar Banten hanya untuk mengambil airnya dan dimanfaatkan untuk menyebuhkan penyakit yang diderita. Menurut salah satu warga di sekitar Cibanten bahwa ketika malam Jumat banyak orang yang berdatangan untuk berendam di air tersebut karena agar penyakit yang dideritanya dapat sembuh. Suatu ketika ada seorang pengunjung yang datang ke Cibanten untuk mengambil air menggunakan sebuah galon. Ketika galon sudah dipenuhi oleh air, tetapi galon tersebut tidak dapat diangkat. Menurut warga setempat jika ada seseorang yang berbuat maksiat atau mempunyai niat yang tidak baik maka akan terjadi sesuatu dengan dirinya. Konon, penunggu Cibanten tidak senang dengan seseorang yang berbuat tidak baik.
            Pengunjung yang pertama kali melihat Cibanten akan melihat pemandangan yang berbeda-beda. Ada yang melihat bahwa di potongan kayu tersebut ada seseorang yang sedang bertapa, air yang membelah seperti jalan raya, kerajaan dan adapula yang melihat hantu. Semua itu tergantung hati dan niat pengunjung. Apakah hati dan niat pengunjung itu baik atau tidak.


Asal Mula Sumber Air Cibanten (Versi III)

Di Banten, tepatnya di Kecamatan Ciomas terdapat sebuah sumber air yang terbentuk seperti kolam. Airnya berwarna biru kehijau-hijauan. Pada zaman dahulu, Sultan Maulana Hasanudin sedang melakukan perjalanan panjang ke Gunung Manjeti, yang sekarang biasa disebut Kecamatan Ciomas. Tepat waktu dzuhur sultan akan melakukan ibadah shalat dzuhur, tapi tidak ada air di lahan seluas 7 Hektar tersebut, akhirnya sultan mengucapkan lafadz Basmalah dengan izin Allah keluarlah air dari dalam tanah tersebut, sultan akhirnya membersihkan diri dengan cara berwudhu dan dilanjutkan dengan solat dzuhur lalu melanjutkan perjalanan ke Gunung Manjeti. Akan tetapi air yang tadi keluar dari tanah terus menerus keluar sehingga menjadi sumber air untuk masyarakat. Menjadi sebuah kolam yang diurus masyarakat sampai sekarang.
Banyak sekali hal-hal yang mistis yang dipercayai masyarakat sekitar dan orang-orang luar sekali pun, menurut sesepuh yang ada di aderah Ci Banten ini, ada seorang pria yang setiap malam selalu memancing di kolam Cibanten tersebut, dan malam itu beliau menemukan kejanggalan yang terdapat di dalam air tersebut, kail pancing yang dia lemparkan tidak kunjung tenggelam dalam air, pancing itu selalu terpental seperti di lemparkan ke atas permukaan air es yang membeku, maka orang itu berinisiatif untuk turun kedalam air, dan benar saja ternyata air tersebut memang membeku untuk beberapa saat. Sungguh hal itu di luar logika manusia kenapa air tersebut bisa membeku beberapa saat, dan setelah kejadian itu diceritakan orang itu mendapatkan kekuatan yang tak bisa dilukai oleh benda tajam.
Namun, sebelum kejadian air kolam Cibanten membeku menjadi air es untuk beberapa saat pernah terjadi, ada kejanggalan lain yang ditemukan oleh pemancing tersebut. Saat orang itu memancing tengah malam dia melihat ada ikan yang luar biasa besar yang sedang berenang dan diikuti oleh ikan-ikan kecil, tapi tidak ada ikan yang mau memakan umpan dari pancing pria tersebut.


Legenda Rawa Danau Padarincang

Rawa Danau Padarincang, terletak di Kecamatan Padarincang, berbatasan dengan Kecamatan Cinangka. Danau Padarincang tekenal sebagai danau tertinggi Asia. Cerita di balik Rawa Danau itu yaitu sebagai berikut:
Dahulu, daerah rawa danau adalah hutan atau perkebunan yang sangat hijau dan subur. Datanglah seorang yang sangat paham dan ahli mengenai agam dari Mekah yaitu H.Muhidin. H.Muhidin berkeinginan membangun kota Mekah kedua di daerah tersebut, membangun masjid, pesantren dan mengembangkan Islam yang lebih kuat di tempat itu. Suatu hari pada saat pembangunan masjid yang didirikan H.Muhidin dengan para santri dan warga, H. Muhidin ingin buang air kecil, lalu keluar dari masjid dan buang air kecil di suatu wadah. Sepeninggalan H.Muhidin datanglah seekor babi hutan mencari makan ke pemukiman dan meminum air dalam wadah tersebut.
Babi hutan itu merusak tanaman warga karena ingin mencari makan. Kemudian warga mengejar dan mengeroyok babi hutan itu. Saat itu terjadi pertempuran sengit antara warga dan babi hutan, karena babi hutan memberikan perlawanan. Babi hutan itu berlari secepat mungkin dengan empat kakinya menyelamatkan diri dari kepungan warga, sedangkan para warga berusaha mencari babi. Saat sedang mengejar babi hutan, warga mendengar suara tangisan bayi dari semak-semak. Warga heran bayi siapa yang ditinggal di tempat itu. Para warga pun berinisiatif untuk mencari bayi tersebut. Saat warga membuka semak-semak, mencari bayi yang menangis, larilah seekor babi hutan dan berhasil melarikan diri. Namun warga merasa kebingungan pada bayi perempuan yang ada dalam semak-semak di hutan.
Bayi perempuan itu dibawa oleh seorang warga dan diserahkan pada seorang tokoh masyarakat terpercaya yaitu H.Muhidin, saat itu H.Muhidin pun merasa heran bayi siapa itu, dan seorang warga langsung menceritakan padanya bagaimana mereka menemukan bayi itu. Bayi itu kemudian dirawat. Kemudian H.Muhidin memiliki inisiatif untuk mengundang para warga ke masjid dan membawa makanan seadanya. Saat itu bayi perempuan itu dibawa ke masjid dan dibiarkan berada di tengah-tengah, sementara para warga duduk melingkar mengelilingi bayi itu. Bayi perempuan itu kemudian dibiarkan untuk memilih makana yang dibawa masyarakat, bila bayi tersebut mengambil makanan dari salah satu warga, maka orang tersebut adalah orang tuanya.
Bayi perempuan itu berkeliling menghampiri warga dan memilih makanan dan memuntahkannya. Namun saat makan makanan dari H.Muhidin, ia tidak memuntahkannya. Ia memakan sampai habis. Semua warga yang datang tampak heran. Akhirnya bayi perempuan itu dirawat dan dibesarkan oleh H.Muhidin. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang cantik yang diberi nama Nyi Artati oleh H.Muhidin.
Seiring dengan tumbuhnya Nyi Artati menjadi seorang gadis yang cantik, tumbuh pula sebuah jamur yang ada di bawah masjid tepat di bawah tempat imam. Semakin Nyi Artati terus bertumbuh, jamur di tempat imam itu pun terus bertumbuh dan semakin besar. Jamur itu membuat masjid itu kehilangan keseimbanan dan miring. Tak ada yang mampu mencabur jamur itu meski semua orang kuat dikerahkan dan suma alat digunakan. Jamur itu tetap tidak berhasil dicabut.
Sampai pada akhirnya, Nyi Artati bersedia untuk mencabut jamur tersebut, dan memberikan syarat kepada warga untuk mmebuatkan sebuah perahu. Meski pun dibuat heran oleh keinginan gadis itu, warga tetap saja mengikuti persyaratan dari Nyi Artati tersebut dan membuatkan sebuah perahu. Nyi Artati itu mencabut jamurnya dan berhasil. Setelah mencabut jamur tersebut, gadis itu duduk di atas perahu yang dibuatkan warga. Masjid kembali seimbang setelah jamur itu dicabut. Namun, air perlahan-lahan keluar dari bekas jamur dicabut tadi. Air itu tidak bisa dihentikan dan akhirnya tempat pemukiman yang didirikan H.Muhidin itu tenggelam. Hanya Nyi Artati, seorang gadis yang mencabut jamur dan seekor anjing peliharaan H.Muhidin yang sangat disayangi gadis tersebut yang ada di atas perahu dan selamat. Konon, buaya-buaya yang terdapat di dalam danau tersebut adalah jelmaan dari warga-warga yang tenggelam.

  
Legenda Curug Betung

Air Terjun Curug Betung Yang terletak di Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang. Legenda Curug Betung mirip dengan legenda Tangkuban Perahu. Namun legenda Sangkuriang versi Banten ini merupakan kelanjutan dari Legenda Rawa Danau Padarincang.
Pada zaman dahulu, ada seorang gadis cantik bernama Nyi Artati. Suatu ketika saat Nyi Artati sedang menenun di rumahnya yang berbentuk panggung, tiba-tiba alat tenunnya jatuh. Nyi Artati malas mengambilnya. Ia lalu berikrar bahwa siapa pun yang mengambilkan alat tenun itu akan dijadikan sebagai suaminya. Ternyata si Tumang, seekor anjing, yang melakukan itu. Dengan berat hati Nyi Hartati menjadikan Tumang sebagai suami. Lalu lahir Sangkuriang.
Ketika kecil, karena tak dapat memenuhi keinginan sang ibu yang sangat ingin makan daging rusa, Sangkuriang membunuh si Tumang, anjingnya. Daging si Tumang ia berikan pada si ibu. Si ibu marah ketika tahu daging itu daging si Tumang. Maka ketika tahu Sangkuriang telah membunuh ayahnya, Nyi Hartati sangat marah. Dipukulnya kepala Sangkuriang dengan kayu hingga luka berdarah, lalu diusirnya Sangkuriang.
Sangkuriang menjadi pemuda tampan. Ia kemudian bertemu kembali dengan sang ibu yang tetap muda. Keduanya saling jatuh cinta. Ketika sedang mencari kutu di kepala Sangkuriang, Nyi Artati menemukan bekas luka di kepala pemuda itu. Ia menanyakan penyebab luka itu pada Sangkuriang. Sangkuriang pun bercerita kalau luka itu akibat dipukul ibunya waktu kecil. Seketika Nyi Artati tahu kalau Sangkuriang adalah anaknya yang ia usir dulu. Ia memberitahukan hal itu pada Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak percaya karena Nyi Artati yang menurutnya masih seusianya. Ia memaksa Nyi Artati untuk mau menjadi istrinya. Nyi Hartati akhirnya mau kalau Sangkuriang dapat membuat bendungan sepanjang tepi sungai yang menuju Curug Betung dalam semalam. Bendungan itu harus selesai sebelum ayam jantan berkokok. Berkat kesaktiannya, Sangkuriang hampir dapat melakukan tugas itu. Nyi Artati menggagalkannya dengan membuat para ayam jantan berkokok sebelum waktunya (versi lain mengatakan bahwa Nyi Artati membentangkan selendang merahnya, mengelabui Sangkuriang supaya Sangkuriang mengira sudah pagi). Sangkuriang yang tahu kalau itu ulah Nyi Hartati mengejarnya. Menghindari Sangkuriang yang mengejarnya, akhirnya Nyi Hartati masuk ke alam gaib.
Konon, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat sekelebat bayangan Nyi Artati dengan selendang merahnya lewat sekejap mata, saat datang ke Curug Betung.




Sekian :) <3